Demokrasi Viralisme

La Ode Alfin, ST

 

RAHA, LENTERASULTRA.COM – Pemilihan umum 2024 akan menghadapi tantangan baru dengan kian suburnya budaya viralisme. Berpotensi mereduksi makna demokrasi dari pertarungan ide, menjadi ajang pencitraan.

Data yang dirilis DataReportal.com pada 9 Februari 2023, jumlah pengguna internet di Indonesia per Januari 2023 mencapai 212,9 juta jiwa atau sebesar 77 persen dari total populasi. Sedangkan pengguna media sosial mencapai 167 juta atau 60,04 persen populasi.
Data tersebut menggambarkan ada 77 persen populasi Indonesia yang bersentuhan dengan budaya viralisme.

Viralisme sendiri berarti paham yang menganggap sesuatu yang viral adalah hal yang penting untuk dibaca. Adapun kata viral diartikan sebagai informasi yang dengan cepat dan luas menyebar atau dipopulerkan melalui media sosial seperti twitter, facebook ataupun tiktok.

Viralisme bekerja melalui algoritma media sosial. Dari konten atau informasi yang viral di media sosial itu dapat menjadi trending topik secara nasional. Disinilah letak viralisme berubah menjadi kekuatan netizen yang mampu menciptakan diskursus publik.

Bahkan viralisme ini telah berubah menjadi people power dalam gaya baru yang mampu memengaruhi pola hidup, pemikiran hingga kebijakan pemerintah. Viralisme, selain menjadi bentuk ekspresi dan aspirasi, juga sebagai alat perlawanan publik terhadap sesuatu yang dianggap janggal dan tidak adil ditengah masyarakat.

Barangkali yang masih membekas diingatan netizen Indonesia ialah kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat oleh mantan Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo. Kasus ini viral di media sosial dan menimbulkan desakan publik terhadap Polri agar mengungkapnya secara jelas. Bahkan teranyar, kasus penganiayaan remaja bernama David yang dilakukan oleh anak seorang pejabat di Direktorat Jenderal Pajak menjadi viral di media dan berdampak pada terungkapnya dugaan praktek pencuciang uang oleh oknum di instansi pemerintah.

Kendati demikian, disisi lain viralisme juga telah melemahkan budaya literasi masyarakat Indonesia. Saat ini topik diskusi dan pembahasan baik media massa ataupun warung kopi sangat bergantung pada apa yang viral dimedia sosial saat itu. Diskursus publik sangat mudah berganti. Sehingga, pikiran masyarakat dapat dengan mudah dikendalikan melalui konten yang diviralkan.

Viralisme dalam Politik

Dalam politik, budaya viralisme mulai berkembang masif pada pemilu 2014 dan 2019. Budaya viralisme ini kemudian digunakan sebagai pola baru untuk kampanye politik. Konten yang diviralkan sengaja didesain oleh kelompok tertentu dengan tujuan membangun citra positif ataupun mendiskreditkan lawan politik.

Tim kampanye biasanya bekerja mengamati algoritma media sosial untuk mengetahui topik yang menarik bagi netizen. Hasil analisa algoritma media sosial itu menentukam bahan konten kampanye digital yang nantinya diviralkan dengan memanfaatkan jasa para pendengung (buzzer) atau influencer.

Budaya viralisme ini juga membuat politisi meningkatkan intensitas kemunculannya di media sosial. Banyak aktifitasnya mulai diunggah ke media sosial untuk meningkatkan citranya dan memacu persepsi publik tentang keterpilihannya. Ada keyakinan figur yang intens muncul dimedia sosial merepresentasikan sebagai calon kuat dan potensial dalam perhelatan demokrasi.

Tokoh-tokoh politik seperti Anis Baswedan ataupun Ganjar Pranowo tak bisa dinafikan mendapat limpasan elektoral dari budaya viralisme ini. Karena mendapat sorotan kamera lebih dominan, kedua tokoh ini menjadi kutub utama dari polarisasi kubu yang bersebarang pilihan politik.

Viralisme ini, tanpa disadari kemudian mengeliminasi pikiran besar dari perbincangan publik, dan hanya memberi ruang terhadap isu populis. Disisi lain, politisi juga terjebak dengan hukum pasar media sosial yakni semakin kontroversi berarti semakin viral. Sehingga menjadi ragu mengemukakan pikiran idealismenya, jika dianggap melawan arus utama netizen.

Ancaman

Budaya viralisme dalam politik menjadi pisau bermata dua. Disatu sisi dapat memacu iklim pemilu menjadi lebih dinamis. Namun disisi lain dapat membahayakan demokrasi jika kampanye digital disusupi konten yang mengeksploitasi isu SARA.

Publik tentu masih ingat, isu dalam Pilpres 2014 lalu dimana kampanye hitam terhadap salah satu calon dengan mencitrakannya sebagai antek komunis demikian masifnya. Isu ini diprakrsai sebuah tabloid Obor Rakyat dan menjadi viral di media sosial. Dalam Pemilu 2019 lalu, viralisme berkutat pada isu politisasi agama sehingga dampaknya menimbulkan polarisasi yang tajam ditengah masyarakat. Publik juga terjebak dalam perdebatan cebong dan kampret.

Kurang dari 12 bulan lagi, akan ada dua momentum pemilihan langsung yakni pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota pada 14 Februari 2024 dan pemilihan kepala daerah untuk memilih gubernur, bupati dan walikota pada 27 November 2024.

Pemilu 2024 perlu mewaspadai kembalinya konten politik bermuatan SARA, atau personal branding yang berlebihan. Dua hal ini akan mendorong diskursus pemilu kita berkutat dalam isu primordial dan hanya akan memicu ketegangan antar kelompok SARA ataupun pemilih akan sibuk berdebat soal siapa figur paling ‘suci’.

Kendati, viralisme dalam politik ini tidak sepenuhnya salah karena menjadi strategi mendongkrak popularitas dan elektabilitas calon. Terlebih kampanye digital ini juga lebih mudah dan berbiaya murah. Hanya saja, konten-konten yang diviralkan dalam politik merupakan hasil produksi yang sengaja didesain. Sehingga, sulit bagi pemilih untuk melakukan verifikasi dan mencari informasi pembanding untuk menguji otentifikasinya.

Budaya viralisme dalam politik, yang dijadikan bahan kampanye seharusnya diarahkan pada konten yang membahas gagasan dan pemikiran ataupun visi besar calon terhadap bangsa dan negara. Dengan demikian, akan tercipta diskursus publik yang produktif dan mendorong terciptanya pemilu sebagai panggung demokrasi yang menyajikan
battle of ideas (pertarungan ide-ide).

Jika kita sedikit lebih idealis, publik sebenarnya berhak menguji seluruh pikiran para kandidat dalam dunia demokrasi. Kewajiban menawarkan ide tidak dapat digantikan dengan konten yang hanya berbicara soal berapa harga pakaian yang dikenakan kandidat untuk mengukur tingkat kemerakyatannya, seberapa putih rambutnya untuk membuktikan jika ia selalu memikirkan rakyatnya, atau seberapa indah kata-katanya untuk meyakinkan kecerdasannya.

Publik, dalam hal ini pemilih, berhak menagih tanggung jawab politisi agar membawa demokrasi ke dalam pertarungan pikiran. Disamping itu, politisi juga harus berani keluar dari budaya politik partisan. Dia harus pula berani mengungkapkan pikirannya meski itu tidak populis. Sebab demokrasi bukan saja soal keterpilihan, melainkan juga soal peradaban. Kita tidak menginginkan demokrasi viralisme, dan mengabaikan demokrasi ideisme.

Dibutuhkan Peran Pers

Budaya viralisme ini memang sulit dikontrol karena sebagian kontennya tidak melanggar norma hukum positif. Kendati pun ada UU ITE yang bisa memroteksi konten yang mengandung hoax, namun pembuktiannya tidak mudah. Pergerakanya di ruang maya juga menjadi sulit diawasi penyelenggara pemilu.

Budaya viralisme ini sebenarnya berkaitan erat dengan etik dan moralitas publik. Trend ini tidak dapat dihentikan melainkan hanya bisa diarahkan ke hal positif. Dalam pemilu, instrumen mengarahkan viralisme kearah positif dapat dilakukan dari kesadaran praktisi politik dan kewarasan publik. Partai politik maupun figur politisi harus lebih cerdas bermain diranah media sosial.

Ancaman viralisme ini sesungguhnya juga dapat direduksi peran media massa atau pers.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, peran pers antara lain menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, dan melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Dalam era digital saat ini, pers harus menjadi instrumen penjaga kecerdasan publik dari budaya viralisme yang bebas. Pers dengan kewenangannya mengelola saluran publik harus mewarnai diskursus pemilu dengan perbincangan ide dan gagasan.

Pers tidak boleh bersikap partisan. Pun tidak bisa sekedar mengejar rating lalu memblow up semua isu yang viral di media sosial. Kalaupun isu itu menjadi topik yang sedang hangat dimasyarakat, maka pers harus mampu menjernihkannya melalui kaidah verifikasinya. Akhirnya, selain pada kecerdasan politisi dan kewarasan publik, kita berharap demokrasi viralisme dapat direduksi melalui peran pers yang kuat.

Ini juga telah diungkapkan lebih dari tiga ratus tahun yang lalu oleh Edmund Burke, seorang negarawan Inggris (1729-1797) yang menyebut pers memikul tanggung jawab besar karena eksistensinya diletakan sebagai pilar keempat demokrasi.

 

Oleh: La Ode Alfin, ST
Penulis adalah Sekretaris MD KAHMI Muna

Demokrasi ViralismeOpiniPemilu 2024ViralViralisme