Sistem Pemilu dan Bayang-bayang Politik Uang

La Ode Alfin, ST

 

RAHA, LENTERASULTRA.COM – Publik saat ini tentu sedang menunggu hasil permohonan uji materi sistem pemilu dalam Undang-undang (UU) Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang bergulir di Mahkamah Konstitusi. Permohonan uji materi ini difokuskan pada pasal 168 ayat (2) yang mengatur pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.

Dalam laman resmi MK, pemohon uji materi terdiri dari enam orang sipil. Masing-masing Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V) dan Nono Marijono (pemohon VI).
Keenamnya meminta agar Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup.

Gugatan yang teregistrasi dengan perkara nomor 114/PUU-XX/2022 itu diajukan akhir November 2022 lalu. MK sendiri sudah beberapa kali menggelar sidang terkait hal ini.
Gugatan ini menjadi penting dan menarik perhatian publik karena akan berimplikasi serius terhadap pemilu 2024 mendatang. Pasalnya, jika MK mengabulkan gugatan maka pemilu khususnya Pilcaleg 2024 akan menggunakan format dimana pemilih tidak lagi memilih langsung wakilnya, melainkan hanya memilih partai.

Gugatan sistem pemilu ini dapat pula dimaknai sebagai ikhtiar bersama meningkatkan kualitas demokrasi nasional. Kendati dilain sisi, gugatan itu secara tidak langsung menyiratkan adanya ketidakmampuan menciptakan iklim demokrasi yang sehat sehingga pilihannya ialah mengubah sistem pemilu yang ada.

Pemilu dengan sistem proporsional terbuka maupun proporsional tertutup sesungguhnya sudah pernah diterapkan di Indonesia. Pemilu dengan sistem proporsional tertutup diterapkan dimasa sejak orde lama, orde baru, hingga masa awal reformasi yakni dalam pemilu 1999 lewat UU nomor 3 Tahun 1999.

Perubahan baru terjadi melalui UU nomor 12 tahun 2003 yang mulai memberlakukan pemilu dengan sistem proporsional terbuka. Selanjutnya sistem ini terus digunakan dalam pemilu 2004, pemilu 2009, pemilu 2014 dan pemilu 2019.

Perbedaan mendasar pada dua sistem ini ialah pada cara pemilihan anggota legislatif. Dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya akan mencoblos gambar partai sebab dalam kertas suara tak menyediakan daftar nama dan gambar calon legislatif. Sedangkan dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos nama dan gambar calon anggota legislatifnya secara langsung.

Dalam sistem proporsional terbuka, nomor urut memang tidak berpengaruh signifikan terhadap peluang terpililihnya calon legislatif. Sebaliknya, dalam sistem proporsional tertutup, caleg nomor urut kecil, misalnya nomor urut 1 (satu) memiliki peluang lebih besar terpilih karena kebijakan partai.

Uji materi UU nomor 7 tahun 2017 menimbulkan banyak tanggapan. Pendapat masing-masing parpol sendiri juga terbelah. Dalam barisan partai-partai yang menolak pemberlakukan kembali sistem proporsional tertutup antara lain partai Golkar, PAN, Nasdem, Demokrat, PKS, Gerindra, PPP dan PKB. Sementara partai yang mendukung diantaranya PDIP dan PBB.

Pendapat sejumlah partai yang menolak sistem proporsional tertutup dipengaruhi adanya kekhawatiran terhadap ‘kuasa uang’ yang dapat ‘memanipulasi’ kedaulatan rakyat. Alasan itu dapat disinyalir menjadi yang utama, disamping alasan-alasan lain. Seperti mereduksi legitimasi legislator dari konstituennya, membuat kesempatan calon terpilih menjadi lebih tidak adil, membuat caleg yang mendapat nomor urut besar tidak akan bekerja serius dalam memengaruhi pemilih dikarenakan peluangnya terpilih tetap kecil kendatipun meraih suara besar ataupun menyebabkan partai berkuasa penuh menjadi penentu siapa yang duduk di kursi parlemen setelah perolehan suara partai dikonversikan ke jumlah kursi. Pada akhirnya membuat anggota legislatif akan lebih taat dan tunduk kepada perintah partai dibanding aspirasi masyarakat.

Hal yang sama juga terdengar dari pendukung sistem pemilu proporsional tertutup. Seperti halnya yang dikemukakan Yusril Ihza Mahendra mewakili Partai Bulan Bintang (PBB) sebagai Pihak Terkait dalam Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 ihwal pengujian materiil Pasal 168 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Jumat, 8 Maret 2023, diantaranya, menyebutkan sistem proporsional terbuka telah mereduksi posisi partai politik.

Empat kali Pemilu (2004, 2009, 2014, dan 2019) menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka juga dinilai melemahkan posisi partai politik. Partai politik tidak lagi fokus mengejar fungsi asasinya sebagai sarana penyalur pendidikan dan partisipasi politik yang benar, melainkan fokus mencari jalan pintas dengan memburu kader-kader popular berkemampuan finansial untuk mendanai kebutuhan partai.

Dari pendapat Yusril tersebut, setidaknya dapat ditarik alasan utama keinginan mengubah sistem pemilu karena ada kecenderungan sistem saat ini melemahkan posisi partai politik. Alasannya ialah empat kali pemilu terakhir telah mengubah medan permainan pemilu yang seharusnya menjadi medan pertarungan program gagasan atau ide menjadi pertarungan orang-orang terkenal dan berkemampuan finansial dikarenakan kader terkenal dan berkemampuan finansial ini menjadi magnet dari partai demi meraih suara terbanyak.

Argumentasi-argumentasi diatas sama-sama cukup meyakinkan. Memang pula diakui jika sistem pemilu manapun tak ada yang paling ideal. Baik sistem proporsional tertutup ataupun proporsional terbuka disadari memiliki kelemahan dan kekurangan. Diskusi soal sistem pemilu ini bahkan sudah berulang dilakukan.

Namun dari dua argumentasi diatas, jika ditarik benang merahnya, sebenarnya memiliki kesamaan yakni adanya pengakuan terhadap relasi politik uang dan perbaikan sistem pemilu. Itu artinya, apapun keputusan MK nantinya, bayang-bayang politik uang diakui tetap menjadi ancaman terhadap kualitas hasil pemilu 2024.

Praktik politik uang memang telah menjadi momok bagi demokrasi. Menurut rilis Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan 47,4 persen pemilih membenarkan adanya politik uang yang terjadi dalam Pemilu Serentak 2019. Bahkan mirisnya 46,7 persen menganggap politik uang tersebut sebagai hal yang dapat dimaklumi.

Temuan LIPI tersebut menegaskan politik uang sulit dinafikan dalam sistem pemilu proporsional terbuka. Bahkan prakteknya seolah tidak tersentuh oleh hukum. Variabel uang berkorelasi dan bahkan menjadi indikator utama dalam kalkulasi pemenangan peserta pemilu. Alhasil, politik uang tidak saja mencetak pejabat korup dan mendegradasi mental masyarakat, namun juga mengorbankan kader-kader yang idealis karena harus kehilangan kesempatan menjadi legislator hanya karena tidak didukung dana yang memadai.

Kendati demikian, menempatkan politik uang sebagai kelemahan utama sistem pemilu proporsional terbuka juga tidak tepat. Alasan itu tak lantas dapat dijadikan pembenaran untuk mengembalikan sistem pemilu secara proporsional tertutup. Sebab tidak ada jaminan dengan sistem proporsional tertutup maka praktek-praktek kotor itu dapat dihilangkan. Alih-alih memerkuat posisi partai politik, sistem ini justru membuka potensi partai politik menjadi arena politik transaksional baru. Bahkan bisa saja politik uang semakin gelap dan sulit diawasi.

Pasalnya, menurut data LIPI yang diperoleh dari hasil surveinya menjelang Pemilu 2019 lalu, partai politik juga masih berada dalam daftar lembaga yang identik dengan praktek korup. Dalam rilisnya, LIPI membeberkan jika KPK (92,41 persen), TNI (80,69 persen), Presiden (79,31 persen), MK (73,79 persen) dan Pers (71,03 persen) mendapatkan apresiasi tertinggi sebagai lembaga demokrasi. Sementara, DPR (23,45 persen), Polri dan Parpol (13,10 persen) sama-sama di posisi paling buntut dalam daftar tersebut.

Itu artinya, publik masih meyakini lembaga partai politik juga masih sulit dibersihkan dari praktek menyimpang. Sehingga, mengembalikan sistem pemilu proporsional tertutup hanya akan memindahkan ‘arena’ politik uang dalam pesta demokrasi. Bahkan, para calon legislatif harus melalui dua medan pertempuran yang sama-sama membutuhkan dana. Pertama, caleg diharuskan berburu nomor urut satu dalam daftar caleg untuk menjaga peluang terpilihnya. Medan berikutnya ialah para caleg juga harus berjuang di akar rumput untuk mengamankan suara partai. Dua pertarungan ini sulit untuk tidak menyiapkan biaya besar. Lagi-lagi, disinilah ruang gelap yang dapat dijadikan arena transaksi hitam.

Kendati dengan segala kelemahannya, sistem pemilu secara proporsional terbuka sesungguhnya lebih ideal. Sistem ini sudah baik, asalkan diikuti perbaikan dalam tubuh partai politik, sebagai peserta pemilu itu sendiri.

Sistem ini ideal karena dapat mengakomodasi hak partai politik sebagai peserta pemilu dan hak pemilih sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam demokrasi.

Dalam sistem pemilu proporsional terbuka, parpol sebagai organisasi kaderisasi calon pemimpin yang diamanahkan undang-undang, sesungguhnya tetap diberi kewenangan menentukan calon anggota legislatif secara mandiri. Disinilah peran parpol dibutuhkan untuk mencegah kerusakan sistem pemilu atau bahkan lebih jauh menjaga muruah demokrasi dengan menutup rapat pintu masuk caleg yang hanya mengandalkan kemampuan finansial dan minim kompetensi.

Dilain sisi, sistem proporsional terbuka dapat memberi ruang tegaknya kedaulatan rakyat yang hakiki, sebab rakyat diberi keleluasaan secara langsung untuk menentukan figur perwakilannya. Dengan demikian, rakyat tidak kehilangan hak asasinya dalam demokrasi sebagai pemegang mandat sesungguhnya.

Jika ingin demokrasi jauh dari politik uang, maka dengan sistem proporsional terbuka jalan paling ideal. Setidaknya, beberapa langkah evaluasi perlu dilakukan, diantaranya (1) partai politik dapat melakukan pembinaan kader jauh sebelum pemilu dilakukan. Bahkan pembinaan harus sistematis dan berkelanjutan guna menyiapkan caleg lebih awal. Ini bertujuan meminimalisir munculnya caleg dadakan yang hanya mengandalkan popularitas dan uang. Serta hanya menggunakan partai sebagai kendaraan politik semata, lalu mengabaikan ideologi partai dalam memerjuangkan visi misinya.

(2) Dengan kewenangannya menyusun daftar caleg secara mandiri, parpol juga dapat lebih selektif dalam rekrutmen. Tentunya, indikator yang harus dikedepankan ialah kesamaan ideologi yang dianut parpol dan caleg, terlebih juga karakter dan moralitasnya. Dalam hal ini, partai memiliki pilihan untuk mencegah adanya politik transaksional ditengah masyarakat dengan sistem proporsional terbuka. Hal ini dapat dilakukan jika partai sendiri tidak terjebak dalam kehendak ingin menang semata, namun mengabaikan sisi kualitas kadernya yang akan ditawarkan dalam pemilu.

Jika dua hal tersebut diatas dilakukan oleh partai politik secara konsisten, tanpa mengesampingkan peran lembaga Bawaslu dan KPU, serta mentalitas dan moralitas calon dan pemilih, maka demokrasi yang berkualitas dengan sistem pemilu proporsional terbuka tetap dapat dicapai.

Secara sederhana, partai dapat menguatkan posisinya dengan memroteksi munculnya politik uang melalui pembenahan rekrutmen caleg. Sehingga pemilu hanya akan diikuti oleh caleg yang bertarung dengan ide dan gagasan sesuai visi misi partai masing-masing.

Namun jika hal ini tidak dilakukan partai politik, dengan sistem apa pun yang akan diputuskan MK, baik sistem pemilu proporsional tertutup ataupun sistem pemilu proporsional terbuka, maka pemilu yang berkualitas hanya akan menjadi fatamorgana dan politik uang tetap akan merajalela.

 

Oleh: La Ode Alfin, ST

Penulis adalah Sekretaris MD KAHMI Muna periode 2022-2027

Gugatan Sistem PemiluPolitik UangSistem PemiluSistem Pemilu Propirsional TertutupSistem Pemilu Proporsional Terbuka