KENDARI, LENTERASULTRA.COM- Perundungan masih menjadi polemik dan permasalahan di Indonesia. Bahkan di lingkungan sekolah, bullying masih sering ditemukan. Perilaku ini menjadi perhatian serius Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Sulawesi Tenggara.
Berbagai upaya pencegahan terjadinya ejekan di dunia pendidikan terus diupayakan instansi pimpinan Asrun Lio itu. Salah satunya yang intens dilakukan adalah mensosialisasikan program roots atau pencegahan perundungan.
“Program anti perundungan ini merupakan program dari Kementerian Pendidikan, bekerjasama dengan UNICEF Indonesia,” kata Asrun Lio, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sultra.
Program roots ini sambung Penjabat (Pj) Sekda Sultra ini dikembangkan dalam rangka upaya pencegahan dan penanganan kekerasan antar teman sebaya yang berfokus menciptakan iklim yang aman dan nyaman di sekolah dengan mengaktivasi peran siswa sebagai agen perubahan.
“Yang jadi agen perubahan ini adalah siswa-siswi yang memiliki pengaruh terhadap teman-teman di sekolahnya. Mereka dibentuk menjadi agen perubahan yang akan memberi pengaruh bagi teman sebayanya untuk memberikan contoh perilaku baik, dan menjadi penebar kebaikan di sekolah,” kata Asrun Lio, akhir Agustus 2022 lalu.
Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sultra Anggraeni Balaka menambahkan, program roots sudah lama diterapkan di Bumi Anoa. Namun belum semua sekolah di jajaran Dikbud Sultra yang menerapkannya. “Jadi ada sekolah-sekolah terpilih yang menjadi penggerak program anti perundungan ini. Di Sultra belum semua sekolah ditunjuk menjadi sekolah penggerak,” kata Anggraeni Balaka di ruang kerjanya, Rabu, 28 September 2022.
Untuk tahapa pertama tercatat 9 sekolah yang lolos menjadi sekolah penggerak anti perundungan. Tahap kedua, ada 14 sekolah. Sedangkan tahap tiga, sudah ada sekolah yang lulus seleksi menjadi sekolah penggerak, namun belum mendapat surat keputusan (SK). “Kami berharap, kedepannya semua sekolah bisa menjadi sekolah penggerak anti perundungan,” sambungnya.
Ditanya siapa saja yang bisa menjadi agen perubahan di setiap sekolah, perempuan berhijab ini mengatakan untuk pemilihan agen perubahan menggunakan teori jejaring sosial. Metode yang dilakukan adalah, setiap angkatan peserta didik diminta menuliskan 10 nama teman terdekatnya. Nantinya akan ada sekitar 30 agen perubahan di setiap sekolah.
Hal ini sangat penting karena dalam jejaring sosial ingin didapat data mengenai peserta didik mana saja yang paling berpengaruh dan paling didengar oleh peserta didik lainnya. Pemilihan agen perubahan ini bertujuan untuk bisa memengaruhi peserta didik lain agar peduli terhadap kasus ejekan yang terjadi di sekolahnya. “Biasanya pengurus OSIS di sekolah menjadi prioritas menjadi agen perubahan,” ungkap Anggraeni Balaka. (Adv)
Penulis dan editor : Adhi