Bumikan Pancasila, Wujudkan Tata Kelola SDA

 

Jiwa gotong royong sebagai nilai utama Pancasila Dasar ontologis dari keberadaan Pancasila menurut Yudi Latif (2019) adalah kehendak mencari “persetujuan” untuk mencari “titik temu” dalam menghadirkan kemaslahatan-kebahagiaan bersama (al-masalahah al-ammah, bonnum comune) dalam kehidupan kebangsaan Indonesia yang majemuk. Hal ini dapat ditunjukkan dalam awalan uraian Soekarno tentang Dasar Negara pada 1 Juni 1945.

Soekarno menyerukan “bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham”. Lantas ia katakan, “Kita bersama-sama mencari persatuan philosophische grondslag, mencari satu ‘Weltanschauung’ yang kita semuanya setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang saudara Sanoesi setujui, yang saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus.”

Maka, terbentuklah nilai dasar Pancasila yang mempertemukan semua ideologi dan anasir kebangsaan dalam semangat gotong-royong. Ketuhanan menurut alam Pancasila hendaknya dikembangkan dengan jiwa gotong-royong (ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang, dan toleran); bukan ketuhanan yang saling menyerang dan mengucilkan. Kemanusian universalnya harus berjiwa gotong-royong (yang berkeadilan dan berkeadaban); bukan pergaulan kemanusiaan yang menjajah dan eksploitatif.

Persatuan kebangsaannya harus berjiwa gotong-royong (mengupayakan persatuan dengan tetap menghargai perbedaan, “bhineka tunggal ika”); bukan kebangsaan yang meniadakan perbedaan atau pun menolak persatuan. Demokrasinya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan musyawarah mufakat); bukan demokrasi yang didikte oleh suara mayoritas atau minoritas elite penguasa-pemodal.

Prinsip keadilannya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan partisipasi dan emansipasi di bidang ekonomi dengan semangat kekeluargaan); bukan visi kesejahteraan yang berbasis individualisme-kapitalisme; bukan pula yang mengekang kebebasan individu seperti dalam sistem etatisme. Gotong royong merupakan kandungan nilai keutamaan inti isi Pancasila 1 Juni seperti yang dikatakan oleh Soekarno (1945) dalam pidatonya yang menggelora dan memukau peserta sidang umum Dokuritsu Junbi Cosakai, atau badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) adalah nilai “gotong-royong”.

Gotong royong menurut Soekarno adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan, menggambarkan satu usaha satu melalui pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara Islam dan yang Kristen, antara yang Indonesia dan yang non-Indonesia untuk tujuan mendapatkan amal semua buat semua dan keringat semua buat kebahagiaan semua serta untuk kepentingan bersama.

Tata Kelola SDA Indonesia dan Fenomena “The Resource Curse”

Negara Indonesia merupakan negara besar yang kaya akan kepemilikan sumber daya alam (the haves of state), akan tetapi, dalam tata kelola SDA di Indonesia masih menghadapi sejumlah krisis lingkungan dan ketidakpastian kesejahteraan rakyat. Kondisi tersebut seperti yang dikemukakan oleh Yudi Latif (2019) bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, yang mestinya dikuasai oleh negara, jatuh ke tangan penguasaan orang seorang dan modal asing, menjadikan rakyat banyak sebagai tindasan segelintir orang kuat.

Begitu pun bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai pokok kemakmuran rakyat, yang seharusnya dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, semakin dikuasai oleh orang seorang bagi sebesar-besar kemakmuran segolongan kecil dan orang asing. Perampasan dan perusakan sumberdaya alam oleh pemodal kuat terjadi secara sistematis, massif dan terstruktur, menyisakan malapetaka ekologis, ketidakadilan, dan keterancaman kesinambungan pembangunan.

Fenomena tersebut dinyatakan oleh Macartan Humphreys et.al (2007) sebagai ‘kutukan sumberdaya alam’ (the resource curse). Dimana pada kenyataannya negara berkembang dengan kekayaan alam yang melimpah justru membawa malapetaka.Untuk terhindar/keluar dari perangkap fenomena “the resource curse” maka perlu ada sistem tata kelola baru. Arif Satria dalam Deonisia Arlinta (2020) mengatakan tata kelola SDA di Indonesia memerlukan sebuah sistem tata kelola baru untuk mencari titik temu dan memadukan rasionalitas ekologi, rasionalitas ekonomi, rasionalitas moral, dan rasionalitas politik serta melibatkan aktor-aktor yang berkepentingan, mulai dari negara, pasar, hingga masyarakat. Karena pendekatan serba negara, pendekatan pasar secara murni, ataupun pendekatan self-governance dan masyarakat tidak menjamin terciptanya keberlanjutan dan keadilan.

Hal ini karena negara, pasar, dan masyarakat tidak dapat dipertentangkan. Kondisi saat ini justru menempatkan masyarakat sebagai pihak yang paling lemah dan tidak mendapatkan peran yang optimal dalam pengelolaan sumber daya alam serta terus memicu kerusakan lingkungan hdup yang merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan media interaksi yang harmonis antara manusia, hewan, tumbuhan dan biota lainnya.

Revitalisasi Nilai Gotong Royong Dalam Tata Kelola SDA

Tata kelola SDA Indonesia berkelanjutan dapat diwujudkan jika menempatkan kembali Pancasila dengan nilai keutamaan jiwa gotong royong dalam lima sila sebagai ruh dan pandu dalam tata kelolanya, mulai dari kebijakan/regulasinya sampai dengan implementasinya (Abdurrahim, dkk., 2020). Pertama, untuk nilai-nilai Ketuhanan disebutkan bahwa Bangsa dan Negara Indonesia yang merupakan bagian dari alam semesta ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dalam bergotong royong mengelola SDA mesti mengacu pada etika lingkungan.

Etika lingkungan Menurut Keraf (2002) menuntut agar etika dan moralitas tersebut diberlakukan juga bagi komunitas biotis atau komunitas ekologis. Etika lingkungan tidak hanya berbicara mengenai perilaku manusia terhadap alam. Etika lingkungan juga berbicara mengenai relasi di antara semua kehidupan alam semesta, yaitu antara manusia dengan manusia yang mempunyai dampak pada alam dan antara manusia dengan makhluk hidup lain atau dengan alam secara keseluruhan, termasuk di dalamnya, berbagai kebijakan politik dan ekonomi yang mempunyai dampak langsung atau tidak langsung terhadap lingkungan alam.

Artinya, siapapun yang terlibat dalam pengelolaan SDA mesti bergotong royong untuk bertanggungjawab memastikan keberlanjutan lingkungan dan alam dengan mengimplementasikan ecosentrism etic bukan Antroposentrism etic. Etika Ekosentrisme mengusahakan keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan keseluruhan dalam ekosistem sedangkan Etika Antroposentrisme memandang bahwa manusia merupakan pusat dari sistem alam semesta dan dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langsung serta tidak memiliki tanggungjawab terdahap keberlanjutan lingkungan dan alam.

Kedua, untuk nilai-nilai internasionalisme/kemanusiaan dicerminkan dengan posisi Indonesia sebagai bagian dari warga global yang mendiami satu planet yang sama, yaitu bumi. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia membangun nilai gotong royong dengan negara-negara lain untuk menjamin keberlanjutan kehidupan dan penghidupan manusia di muka bumi dalam bentuk kemitraan (patnership) yang adil dan beradab dalam mengelola sumber daya alam.

Ketiga, untuk nilai-nilai kebangsaan/persatuan disebutkan bahwa bangsa Indonesia juga muncul karena persatuan antara manusia dan tempat sehingga antara manusia dengan lingkungan alam mempunyai relasi dan interaksi yang kuat (sesuai dengan konsep social-ecological system). Ini menunjukkan apa yang terjadi pada lingkungan alam (ecosystem) akan mempengaruhi sistem sosial (manusia) dan sebaliknya. Selain itu, pengelolaan SDA juga mesti mengedepankan semangat gotong royong mewujudkan prinsip keadilan yang proporsional antar suku bangsa, antara pusat dan daerah serta antar daerah untuk meningkatkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Keempat, untuk nilai-nilai kerakyatan (permusyawaratan/perwakilan) dapat dicerminkan dalam sistem tata kelola SDA yang partisipatif dan demokratis. Bumi, air, dan kekayaan SDA yang dikandung di dalamnya harus dikelola secara partisipatif dan demokratis untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya, tata kelola SDA harus melibatkan peran semua pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat/komunitas, swasta (PMA/PMDN), dan juga civil society organization/CSO dalam sebuah kelembagaan yang berkelanjutan.

Kelima, untuk nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan direfleksikan dengan pentingnya bergotong-royong mewujudkan kemakmuran yang berkeadilan dan berkelanjutan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa ada diskriminasi suku, agama dan ras. Pewujudan keadilan sosial harus menjadi tujuan pertama suatu perpolitikan yang beradab oleh seluruh elemen bangsa terutama penentu kebijakan yakni Pemerintah dan DPR dalam menata kelola sumber daya alam Indonesia sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing.

Akhirnya, apakah perwujudan revitalisasi Pancasila dengan nilai keutamaan jiwa gotong royong dalam tata kelola SDA Indonesia dapat menjadi sebuah keniscayaan? Mari memulai bergotong-royong membumikan Pancasila dalam tata kelola SDA sebagai manifestasi ucapan selamat atas Kelahiran Pancasila, 1 Juni 1945 (tujuh puluh tujuh tahun yang silam). Salam Pancasila !!!

Penulis : Dr. Irfan Ido, SP., M.Si

* Ketua DPD Gerakan Pembumian Pancasila Provinsi Sulawesi Tenggara
* Dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Universitas Haluo Oleo

Hari Lahir PancasilaIrfan Idoketua DPD Gerakan Pembumian PancasilaUHO