Di lingkungan para ulama dan para sufi penggunaan istilah Nafs, menunjuk atau mengacu pada sifat-sifat dan kecenderungan manusia pada aspek yang buruk, seperti tamak, serakah, egois, dengki dan semacamnya. Nafs itu sendiri, yang ada pada manusia, sifatnya sangat dinamis. Jika Nafs itu bergerak kearah tingkatan yang rendah, tanpa muncul suatu kesadaran trasedental untuk melawannya, maka dapat
menggiring manusia kearah kesesatan.
Nafs dalam konteks ini turun menjadi konsep yang propan. Esensinya keberadaan kita, senantiasa berada dalam proses perjuangan untuk menetralisir atau mengalahkan dorongan Nafs itu kearah yang menyesatkan.Mengendalikan nafs, adalah suatu perjuangan. Proses perjuangan itu dihadirkan, karena disamping nafs itu sendiri yang sifatnya dinamis, juga karena proses yang ada
dalam pikiran setiap anak manusia – dalam suatu masalah cendrung berdimensi jamak.
Dalam konteks yang relevan dengan dinamika Nafs, Robert Frager, menuliss ebagai berikut : “Nafs sebagai proses yang dihasilkan oleh interaksi antara ruh dan jasad, bukanlah struktur psikologis yang bersifat statis”. Lanjut Frager, “sama sekali tidak ada yang salah dengan ruh maupun jasad. Namun proses yang dihasilkan keduanya boleh saja menyimpang”. Dalam kajian para ahli tasauf bahwa proses penyimpangan tersebut terjadi, karena ketika ruh yang suci terpenjara oleh dunia materi yaitu tubuh, maka ruh yang immateri mengalami distorsi dari keasliannya-yakni terdistorsi oleh materi, kemudian dari proses ini terbentuklah nafs. Karena nafs berakar dari immateri dan materi, maka nafs itu sendiri memilikik arakter dan kecendrungan kepada material dan spiritual.
Pada awalnya, atau katakanlah karakter primordialnya, sesunggugnya nafs itu, didominasi oleh kecendrungan materi, dan kepada semua kesenangan sesaat. Tetapi ketika nafs itu dilatih dan dikendalikan, maka sesungguhnya nafs itu dapat melakukan tranformasi
untuk lebih tertarik kepada dimensi spiritual, dan dimensi ketuhanan. Transformasi itu sangat mungkin terjadi, jika dominasi ruh suci yang menarik nafs masuk kewilayahnya. Ibn Atha’Illah, dengan sangat gambling menjelaskan bahwa nafs ini bergerak pada medium yang paling rendah kepada medium yang paling mulia (suci).
Nafs yang paling rendah yaitu nafs ammarah, selanjutnya nafs lawwamah adalah nafs yang memberikan cahaya tertentu kepada kalbu, yang menyadarkan dari kelalaian, dan nafs muthma’innah (tentram), nafs yang mendapat cahaya kalbu secara sempurna.Esensi fungsi shiyam (puasa) ramadan yang kita sedang laksanakan sekarang ini, sejatinya adalah melatih dan mengendalikan nafs, agar dapat masuk pada wilayah ruh yang suci, yaitu wilayah Ilahi Rabbi. Proses latihan ini bertolak dari sifat generik manusia. Seluruh manusia berkedudukan antara ruang malaikat dan ruang hewan.
Kita semua memiliki potensi bergerak pada kecendrungan kedua ruang
tersebut, malaikat atau hewan. Untuk itu kita perlu berjuang, agar dapat mengalahkan kecendrungan hewani, menuju kecendrungan malaikat.
Menurut Syech Ragip al-Jerrahi; “inilah yang disebut dengan jihad batiniah atau perjuangan batiniah”. Itulah sebabanya ibadah shiyam (puasa) seseorang sangatlah privasi, hanya ALLAH dan hamba pelaku puasa yang mengetahui, karena kondisi yang dituju pelaksanaan ibadah shiyam (puasa) adalah transformasi nafs amenuju dominasi ruh, yaitu kecendrungan kepada Ilahi Rabbi. Proses itu berlangsung di dalam rongga dada dan rongga kepala setiap manusia – proses trasedental, dan selanjutnya mengalir pada proses faktual yakni laku sosial manusia, yang melaksanakan ibadah shiyam (puasa).
Disinilah salah satu ruang yang menjadi tujuan dan pemaknaan kata shiyam (puasa), yakni menahan diri dalam laku phisik dan materi serta menahan diri dalam laku nafsani atau kejiwaan, sebagaimana Rasulullah SAW mengingatkan kita sekalian yang sedang melaksanakan ibadah shiyam (puasa), dalam salah satu sabda beliu yang sangat populer; “Barang siapa yang tidak bisa meninggalkan perkataan kotor dan (tidak bisa meninggalkan) perbuatan kotor, maka Allah tidak punya kepentingan apa-apa, meskipun mereka meninggalkan makan dan minum” (HR Buhari). Wallahuallam bissawab*