Membaca Peluang Penempatan Penjabat Kepala Daerah

La Husen Zuada

 

RAHA, LENTERASULTRA.COM – Pilkada serentak yang akan diselenggarakan tahun 2024 membawah implikasi pada kekosongan jabatan kepala daerah pada 272 daerah di Indonesia yang akan berakhir pada tahun 2022 dan 2023.

Untuk mengisi kekosongan itu, maka pemerintah pusat yang diwakili Menteri Dalam Negeri akan menunjuk penjabat kepala daerah untuk melaksanakan tugas dan kewenangan kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan masa jabatan yang relatif bervariasi, mulai dari 1 tahun lebih hingga lebih dari 2 tahun.

Penujukan penjabat kepala daerah yang akan dimulai pada bulan Mei tahun 2022 telah memunculkan banyak spekulasi tentang siapa akan ditunjuk, dan siapa yang diuntungkan atas keberadaan penjabat gubernur, bupati dan walikota.

Secara normatif mereka yang akan menjadi penjabat kepala daerah telah tertuang jelas dalam UU 10 Tahun 2016 pasal 210 ayat 9 dan 10, yaitu mengerucut pada jabatan pimpinan tinggi madya untuk mengisi posisi gubernur, dan jabatan pimpinan tinggi pratama untuk mengisi jabatan bupati dan walikota.

Menurut Kemendagri setidaknya ada 4.262 pejabat yang memenuhi kriteria untuk mengisi jabatan kekosongan kepala daerah. Dengan banyaknya pejabat yang memenuhi syarat itu, maka proses penujukan penjabat kepala daerah yang akan mengisi 272 daerah akan melewati proses yang tidak mudah. Tentang siapa sosok yang layak menjadi penjabat kepala daerah akan ditentukan melalui pertimbangan politik.

Siapa yang akan ditunjuk dan alasan penujukan akan sulit ditebak oleh publik, kecuali oleh mereka yang mengambil keputusan itu. Aktor pentingnya adalah Gubernur, Mendagri, Presiden dan Ketua-Ketua Umum Partai Koalisi. Dalam penujukan penjabat kepala daerah, Gubernur berperan mengusulkan tiga nama penjabat bupati dan walikota yang memenuhi syarat kepada Mendagri. Selanjutnya Mendagri akan memutuskan satu dari tiga usulan Gubernur.

Sementara Presiden sebagai pimpinan tertinggi akan sangat mungkin mengintervensi keputusan Mendagri sebagai pembantu presiden. Presiden sebagai anggota partai politik dan bagian penting yang terhimpun dalam partai koalisi, sangat mungkin mendapatkan lobby politik dari para ketua umum partai tentang sosok penjabat kepala daerah yang akan ditunjuk.

Proses distribusi kekuasaan itu, tentu menjadi hal yang rumit. Dalam penujukan penjabatan kepala daerah, para aktor ini akan bermain dalam tiga ruang yaitu ruang terang, ruang abu-abu dan ruang gelap.

Pada ruang terang mereka akan menampilkan syarat normatif yang telah tertuang jelas dalam UU, seperti; syarat jabatan tinggi madya dan pratama. Pada ruang abu-abu mereka sangat mungkin mencari celah regulasi yang menguntungkan mereka, seperti pengangkatan anggota TNI/Polri aktif sebagai pejabat tinggi madya dan pratama terlebih dahulu sebagai syarat untuk menduduki penjabat kepala daerah. Sementara pada ruang gelap, para aktor ini sangat mungkin membuat keputusan dari hasil kompromi politik.

Terlepas dari kerumitan yang dihadapi para pengambil keputusan, para birokrat merasa sangat diuntungkan dengan regulasi pengisian penjabat kepala daerah. Para birokrat yang memenuhi syarat untuk mengisi penjabat kepala daerah, kini mulai bermanuver agar bisa dinominasikan sebagai penjabat kepala daerah.

Di daerah, seorang birokrat menjadi penjabat kepala daerah tentu kedudukannya lebih prestisius, dibanding hanya menjadi kepala dinas. Disamping itu, dengan menjadi penjabat kepala daerah secara otomatis akan menambah sumber daya kekuasaan mereka, terutama dalam hal kewenangan, sumber daya birokrasi yang dibawahi, serta kekuasaan dalam penggunaan anggaran di daerah.

Pada Pilkada sebelumnya, para penjabat kepala daerah yang berasal dari ASN dengan bermodalkan kewenangan, pengendalian birokrasi dan anggaran, kerap memanfaatkan jabatan mereka untuk mempersiapkan diri sebagai calon kepala daerah untuk tampil dalam Pilkada berikutnya. Hal ini pula tampaknya menggoda para birokrat untuk menjadi penjabat kepala daerah.

Situasi Pilkada lalu itu, kini berbeda dengan Pilkada 2024. Melalui regulasi UU 10 Tahun 2016 pasal 7 ayat 2 poin q, pemerintah telah menutup peluang penjabat kepala daerah untuk dapat mencalonkan diri dalam Pilkada tahun 2024, sehingga hal ini tentu akan menampilkan dinamika yang berbeda dalam penujukan penjabat kepala daerah. Sangat mungkin dalam penujukan penjabat kepala daerah nanti, akan mempertimbangan hubungan pertemanan dan loyalitas dengan petahana dan kekuasaan yang dapat menguntungkan mereka dalam pencalonan dalam jabatan politik lain (seperti: capres dan caleg), atau minimal dapat memberikan insentif elektoral bagi partai politik pada pemilihan legislatif, pemilihan presiden dan wakil presiden 2024.

 

Oleh : La Husen Zuada

Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Tadulako, Sulawesi Tengah.

BupatiGubernurkepala daerahLa Husen ZuadaPeluangPenjabatwalikota