Tembaha Wula, Tradisi Menyambut Ramadan Suku Muna

Prosesi Haroa yang juga kerap diikuti Bupati Muna, LM. Rusman Emba. Foto : Istimewa

 

RAHA, LENTERASULTRA.COM – Masyarakat Muna akan menggelar tradisi tembaha wula setiap kali menandai datangnya Ramadan. Tradisi itu sudah berlangsung sejak abad ke- XV, saat Islam masuk ke Bumi Sowite. Tembaha wula hingga kini masih terus lestari.

Budayawan Muna, Hadi Wahyudi menerangkan, tembaha wula dalam bahasa Muna berarti menembak bulan. Penamaan itu sebenarnya merujuk pada praktek dalam ritual tersebut.

Dalam kebiasaan masyarakat Muna, utamanya di era sistem kerajaan dulu, tradisi tembaha wula merupakan upacara yang diselenggarakan di masjid Muna yang letaknya dalam kawasan benteng kerajaan. Komplek itu menjadi pusat pemerintahan kerajaan Wuna masa itu. Upacara tembaha wula biasanya dilaksanakan dimalam pertama bulan ramadan untuk menandakan jika puasa sudah akan dimulai esok hari.

Bentuk upacara tersebut dilakukan dengan menembak ke arah bulan di langit menggunakan bambu rakitan. Sebelum kemudian beralih menggunakan meriam. Tembakkan itu untuk menghasilkan suara dentuman yang menjadi peringatan atau pengumuman kepada seluruh penduduk kerajaan jika awal puasa sudah ditentukan oleh para tetua.

Prosesi tembawa wula itu dilakukan oleh tetua. Posisi dan arah hadap meriam ditentukan dengan perhitungan tersendiri. “Dulu kan memang pemukiman terpusat di dalam benteng Kota Wuna. Jadi fungsi meriam di masjid Wuna itu salah satunya untuk ritual tembaha wula,” katanya kepada Lenterasultra.com, Jumat, 1 April 2022.

Kepala UPTD Museum Barugano Wuna itu berpendapat, tradisi tembaha wula sudah dilakukan sejak Islam pertama kali masuk ke Muna oleh Syekh Abdul Wahid. Pada masa pemerintahan Raja La Posasu, kisaran abad XV masehi. Namun, seiring waktu tradisi tembaha wula dengan praktek menembakkan meriam ke langit sudah tidak lagi dilakukan di era Raja La Ode Dika, gelar Komasigino. Sekitar tahun 1930 – an.

“Kami sempat usulkan agar tradisi tembaha wula menggunakan meriam itu dihidupkan lagi. Tapi belum sempat terealisasi,” tambahnya.

Masyarakat suku Muna memang memiliki cara sendiri menentukan waktu tembaha wula untuk menandai awal ramadan. Metode itu didasarkan pada perhitungan bulan. Cara ini lebih cenderung mirip dengan yang digunakan kalangan Muhamadiyah yang dikenal dengan metode hisab wujudul hilal. Metode tersebut berbeda dengan rukyatul hilal, teknik yang digunakan pemerintah dengan mendasarkannya pada pengamatan dan penglihatan bulan secara langsung.

“Sederhananya, kalau orang tua kita di Muna pakai perhitungan bulan, sedangkan Kementerian Agama pakai metode pengamatan bulan. Keduanya dibenarkan karena sama – sama termasuk cara menentukan ramadan,” kata Muhammad Syukri, pembina Kampoeng Quran Mantobua.

Khusus tahun 1443 hijriah atau 2022 masehi, sebagian besar masyarakat Muna sudah melakukan tradisi tembaha wula pada Jumat malam, 1 April.

Tradisi tembaha wula memang hingga kini masih sering dilakukan masyarakat Muna dalam menyambut bulan suci. Kendati, prakteknya tidak lagi dengan menggunakan meriam dan juga tidak terpusat di Masjid Muna.

Menurut pengurus Lembaga Adat Muna, bidang Kehumasan, La Ode Ipo, tradisi tembaha wula saat ini umumnya dilakukan masyarakat dengan cara menggelar Haroa. Semua anggota keluarga berkumpul dan memanjatkan doa bersama dibimbing tetua adat kampung. Doa dalam haroa itu antara lain memohonkan keselamatan untuk arwah para leluhur, meminta panjang umur agar bertemu dengan ramadan, memanjatkan rasa sukur atas nikmat kesehatan, rejeki yang lancar dan keberkahan hidup.

Prosesi haroa dilengkapi dengan dulang berisikan berbagai jenis makanan untuk santap bersama setelah pembacaan doa selesai.
“Haroa menjadi momen paling ditunggu, karena semua anggota keluarga akan berkumpul,” jelasnya.

(Ode)

MunaramadanTembaha WulaTradisi