Pantai pulau Munante yang mengalami degradasi parah akibat penambangan pasir. Foto : Ode
RAHA, LENTERASULTRA.COM – Rona langit sudah berubah jingga saat dua buah perahu yang kami tumpangi mulai menjauh dari pesisir Napabalae, Kec. Lohia, Muna, Sabtu petang kemarin. Tujuan kami ialah Munante, pulau mungil yang pesonanya kini nyaris tinggal kenangan.
Satu diantara perahu kami bermesin tempel. Satunya hanya dilengkapi dayung. Kedua kayu apung tumpangan kami itu harus ditautkan dengan seutas tali berbahan nilon. Agar laju perahu kedua bisa mengikuti kecepatan perahu pertama. Kami tak menggunakan satu perahu karena bisa over kapasitas.
‘Kreatifitas’ ini sebenarnya tidak layak ditiru. Biasanya hanya bisa diperankan oleh dua kelompok : yang benar – benar ahli dan yang modal nekat. Saya termasuk kelompok kedua. Bagi saya yang tumbuh besar di ‘daratan’, perjalanan seperti ini sebenarnya sama artinya mengundi nasib. Hidup dan mati rasa – rasanya tergantung tali nilon diantara dua perahu itu.
Munante yang menjadi tujuan perjalanan kami itu ialah sebuah pulau yang diapit jazirah Muna dan Buton. Letaknya nyaris ditengah selat. Kurang lebih 13 kilometer dari pesisir Napabale. Sebelah Barat Munante bersemuka dengan Danau Air Asin Napabale dan miniatur raja Ampat, pantai Meleura. Di selatan ada pulau Kogholifano dan bagian utara berbatasan dengan pulau Bakealu. Sedangkan menghadap ke Timur maka yang ada ialah jazirah pulau Buton.
Butuh waktu satu jam membiarkan perahu berenang diatas gulungan ombak. Yang untung saja relatif tenang. Sampai akhirnya kami mulai menepi di Munante, saat rona langit sudah menghitam. Gelap.
Munante tak menawarkan pemandangan istimewa saat malam. Selain, cahaya dari lampu suar yang berkedap kedip, sebagai penanda untuk lalulintas kapal. Suasananya cukup tenang karena pulau ini memang tak dihuni penduduk. Dari Munante kita hanya bisa menyaksikan pijar lampu dari lokasi pemukiman di Pure, maupun di Pola. Kumpulan cahaya lampu itu membentuk formasi layaknya rasi bintang.
Melewatkan malam di Munante berarti harus sedikit punya keterampilan untuk survive (bertahan hidup, red). Makanya saat tiba di Munante, kami langsung berbagi peran. Alfin, Awi, Armin, Ustad Syukri mengambil alih urusan ‘perapian’. Sedangkan Jufri, Ali Marsaban, Indra, Mirfan mengurusi tenda. Zamrin jadi koki dadakan. Fikar dan satu rekannya mengamankan perahu.
Tiga buah tenda plus api unggun baru tuntas selepas Isya. Bagian selanjutnya dan yang paling seru ialah urusan menyiapkan makan malam. Di Munante, tak ada air tawar ataupun bumbu ala ‘Master Chef’. Misalnya, untuk mendapatkan tambahan rasa asin dan pasokan air terpaksa harus diolah dari satu sumber : laut. Cara itu untuk berhemat air tawar agar keperluan minum dan berwudhu tetap tercukupi.
Tapi, menu apa pun yang disantap bakal terasa nikmat. Sebut saja ikan bakar colo – colo, ketupat dan lapa – lapa, kendati hanya diisajikan diatas dua lembar daun pisang, nikmatnya sudah cukup bikin ‘lupa utang’.
Apalagi, setelahnya, kami beralih ke urusan menghangatkan badan. Bagian ini kami sudah menyiapkan bekal berupa kopi, teh dan susu. Sesuai selera masing – masing. Malam makin panjang saat suara gitar mulai membelah kesunyian. Beberapa diantara kami memang punya bakat musisi. Dengan suara dan kemampuan ala kadarnya. Yang sejujurnya masih lebih merdu suara deburan ombak.
*****
Gelap akhirnya berganti. Matahari mulai menampakan cahayanya. Mata masih berjibaku dengan kantuk. Tapi panggilan salat tak bisa ditunda. Kami lantas berwudhu dengan jatah air masing – masing satu gelas. Barulah selepas menunaikan kewajiban itu, wajah Munante mulai dapat kami saksikan. Inci demi inci.
Pulau mungil itu banyak ditumbuhi rerumputan dan pepohonan yang menghijau. Seolah melambai ramah pada semua orang. Tapi sayangnya, pemandangan sampah juga tidak kalah ramai. Bekas botol air mineral, gelondongan kayu maupun bambu, hingga sampah rumah tangga lainnya terlihat sesak di permukaan pantainya.
Pulau Munante punya garis pantai lebih kurang 1,2 kilometer. Sedangkan luasan daratannya ditaksir enam hektar. Munante sebenarnya punya pesona khas : hamparan pasir putih. Dengan luasan berkali – kali lipat lapangan sepakbola. “Tapi itu dulu,” kata Armin, disela kami berbincang menikmati pagi buta.
Armin sembilan tahun tugas di Pure, Kec. Wakorumba Selatan sebagai pegawai salah satu Bank. Dari cerita orang – orang di wilayah Muna Timur, katanya, Munante ialah destinasi wisata favorit bagi penyuka suasana yang jauh dari hiruk pikuk kota. Daya tariknya ada pada panorama pantai dengan hamparan pasir yang sangat luas. Itulah simbol keramahan Munante. Menyambut setiap kaki yang berpijak dengan kelembutan.
Selain itu, pemandangan bawah lautnya juga masih banyak diwarnai terumbu karang. Benar – benar keindahan paripurna. “Sekarang tinggal begini yang tersisa,” Armin melanjutkan kalimatnya.
“Pasirnya habis diambil penambang. Kebanyakan warga disekitar sini,” timpal Fikar.
Entah sejak kapan kemolekkan pasir Munante mulai dijamah tangan jahil penambang. Tetapi yang jelas terlihat, praktek eksploitasi itu masih berlangsung hingga kini. Dari amatan kami, kondisi pantai Munante sudah mengalami degradasi parah. Pulau ini sudah hampir terputus karena pasirnya terus dikeruk. Bahkan salah satu sisi pulau ini tersisa daratan tak sampai 20 meter. Banyak ditemukan lubang bekas galian pasir di beberapa bibir pantai. “Sebentar lagi pulau ini tinggal cerita,” tambah Jufri.
Pulau Munante secara administratif termasuk wilayah Desa Oenggumora (pulau Kogholifano), Kec. Pasir Putih, Muna. Kami melihat dengan jelas keadaan Munante sekitar dua jam. Ada rasa khawatir keindahannya hanya bisa disimpan dalam memori. Munante menjadi anugerah Tuhan yang salah kelola. Penambang hanya berburu rupiah untuk kebutuhan sesaat. Tapi tak memikirkan nasib Munante untuk diwariskan kepada anak cucu mereka.
Pukul 07.30 Wita kami bergegas meninggalkan pulau itu. Kemudi perahu kami arahkan kembali membelah selat Buton. Pulang.