Krisis Energi, Ekonomi China Diambang Stagflasi

 

BEIJING, LENTERASULTRA.COM – Para ekonom memandang ekonomi China kini diambang stagflasi karena harga terus melonjak dan di saat yang sama data manufaktur menunjukkan produksi melambat. Kondisi itu terjadi di tengah langkah Beijing yang terus berjuang memerangi pandemi covid-19 dan krisis energi yang tengah melanda.

Menurut Investopedia, stagflasi ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang lambat dan pengangguran yang relatif tinggi -atau stagnasi ekonomi- yang pada saat yang sama disertai dengan kenaikan harga (yaitu inflasi). Stagflasi dapat didefinisikan sebagai periode inflasi yang dikombinasikan dengan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan kata lain, stagflasi adalah ketika perekonomian secara bersamaan mengalami aktivitas stagnan dan percepatan inflasi.

Fenomena ini pertama kali dikenali pada 1970-an ketika ada kejutan komoditas minyak mendorong periode harga yang lebih tinggi tetapi pertumbuhan PDB turun tajam. Aktivitas pabrik China berkontraksi lebih dari yang diprediksikan pada Oktober, atau menyusut untuk bulan kedua, sebuah survei resmi yang dirilis Minggu menunjukkan. Indeks Manajer Pembelian manufaktur resmi untuk Oktober berada di 49,2 atau turun di bawah level 50 yang artinya memisahkan ekspansi dari kontraksi.

Kepala Ekonom Pinpoint Asset Management Zhang Zhiwei mengatakan indeks produksi telah turun ke level terendah sejak diterbitkan pada 2005, tidak termasuk krisis keuangan global 2008 dan wabah covid-19 pada Februari tahun lalu. Sebaliknya, indeks harga output telah naik ke level tertinggi sejak diterbitkan pada 2016.

“Sinyal-sinyal ini mengkonfirmasi bahwa ekonomi China kemungkinan sudah mengalami stagflasi,” kata Zhiwei, sebagaimana dilaporkan CNBC International, Selasa (2/11/2021).

“Pertanda yang mengkhawatirkan adalah pergerakan inflasi dari harga input ke harga output. Inflasi harga input telah tinggi selama berbulan-bulan sekarang, didorong oleh kenaikan harga komoditas. Tapi lonjakan indeks harga output di Oktober mengkhawatirkan,” tambahnya dikutip dari asiatoday.id.

Dia mengatakan tekanan inflasi terindikasi sedang diteruskan dari perusahaan hulu ke hilir. Hulu mengacu pada bahan input yang dibutuhkan untuk menghasilkan barang, sedangkan operasi hilir adalah yang lebih dekat dengan pelanggan, tempat produk dibuat dan didistribusikan.

“Kita dapat dengan jelas melihat stagflasi industri di China karena indeks output yang menguat, pada saat yang sama melihat peningkatan yang kuat dalam indeks harga. Jadi, sektor industri jelas berada dalam situasi yang sangat sulit,” kata Kepala Ekonom China Raya ANZ Raymond Yeung.

Output pabrik tertahan oleh berkurangnya pasokan listrik, kekurangan bahan, dan biaya input yang tinggi, menurut responden survei PMI manufaktur, Capital Economics dalam sebuah catatan. China saat ini menghadapi krisis listrik yang parah, karena bergulat dengan kekurangan batubara.

“Ini mengakibatkan perusahaan harus mengurangi persediaan mereka lebih jauh dan waktu pengiriman yang lebih lama. Lebih khusus lagi, kekurangan ini dan kenaikan harga bahan baku mendorong harga output yang lebih tinggi,” pungkas Asisten Ekonom Capital Economics Sheana Yue. (ATN)

ChinaDampak Krisis Energiekonomi chinaEkonomi China Diambang StagflasiIndonesia