JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Televisi Indonesia sepi dari perayaan kemenangan atlet difabel dalam Paralimpiade Tokyo 2020, yang mempersembahkan dua emas, tiga perak dan empat perunggu. Seorang pelaku kekerasan seksual pada anak yang bebas dari penjara, justru dielu-elukan.
Anggiasari Puji Aryatie melihat kontradiksi pekan ini. Di satu sisi, para atlet Paralimpiade di Tokyo menunjukkan perjuangan dan bertanding secara luar biasa. Mereka mempersembahkan yang terbaik bagi bangsa di bidang olahraga, setelah latihan panjang bertahun-tahun. Di sisi lain, tak banyak ulasan untuk merayakan capaian itu.
“Prestasi mereka justru jarang terdengar, karena kalah oleh pemberitaan yang sensasional. Kalau kita dengar, seseorang yang bebas dari hukuman akibat kejahatan kekerasan seksual pada anak, justru oleh beberapa kelompok masyarakat, pembebasannya dielu-elukan. Ini tidak sebanding,” kata Anggie dikutip dari voaindonesia.com.
Anggie adalah perempuan difabel, aktivis sosial dan juga tenaga ahli Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat.
Melihat apa yang terjadi, kata Anggie, nampaknya masyarakat harus lebih banyak belajar melihat isu kemanusiaan sebagai prioritas. Kasus ini, ujarnya, juga menjadi pembelajaran bagi semua, ketika seorang pelaku kejahatan seksual kepada anak menyita perhatian hanya karena statusnya sebagai selebriti.
“Kita juga semakin yakin, pemulihan korban kekerasan seksual pada anak lelaki dan perempuan harus menjadi prioritas untuk melindungi masa depannya. Itu sebabnya, kita perlu mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” tambahnya.
Pelaku kejahatan seksual yang dimaksud, adalah penyanyi dangdut Saipul Jamil. Pada Februari 2016, dia mengenal DS, seorang penonton studio dalam acara televisi di mana dia turut mengisinya. Beralasan rumah mereka sejalan, Saipul menawarkan anak berumur 17 tahun itu pulang bersama.
Di rumahnya, Saipul meminta DS memijat, lebih dari itu, dua kali penyanyi itu hendak mencabuli DS, tetapi ditolak. Sampai DS tertidur di kamar asisten Saipul Jamil, dan kemudian menjadi korban aksi kekerasan seksual. DS pulang, dan bersama orang tuanya melaporkan tindakan itu ke polisi. Pengadilan menghukum Saipul Jamil, dan setelah sejumlah remisi, dia bebas pada 2 September.
Kebebasan Saipul Jamil dirayakan dengan kalungan bunga dan penyambutan. Stasiun televisi bahkan mengundangnya untuk berbagi kisah hidup.
Pada 1992, sosiolog yang juga kriminolog dari Universitas Gadjah Mada, Suprapto berada di Amerika Serikat. Ketika itu, dia mengikuti salah satu persidangan kasus hubungan seksual seorang pria dengan perempuan di bawah umur. Suprapto melihat sendiri bagaimana masyarakat memberikan sanksi sosial yang berat bagi pelaku. Begitu pula proses hukum yang mengikutinya. Meski cenderung lebih terbuka dalam soal seksualitas, perilaku yang menempatkan anak-anak sebagai korban sangat tidak dapat diterima.
Karena itulah, apa yang dilakukan stasiun televisi terhadap penyanyi Saipul Jamil menohok akal sehat siapapun.
Suprapto melihat kasus ini dari sudut pandang teori struktur sosial. Salah satu dimensi dalam teori ini, ujarnya, adalah stratifikasi atau pelapisan sosial.
“Masyarakat kadang silau oleh popularitas, sehingga misalnya ada tokoh-tokoh publik yang melakukan pelecehan, kemudian menikahi perempuan yang masih anak-anak. Masyarakat itu menjadi permisif karena pelaku merupakan tokoh publik,” kata Suprapto.
Dalam kasus semacam ini, tokoh politik yang melakukan korupsi atau artis yang melanggar hukum, bisa dengan mudah kembali menjalani karirnya seperti semula. Seolah-olah, tidak ada kesalahan yang pernah dia lakukan, sehingga dia wajar tidak menerima sanksi sosial dari masyarakat. Menurut Suprapto, karena pengaruh kekuasaan ekonomi maupun popularitas pelaku kejahatan, masyarakat menunjukkan respons yang biar. Sikap mereka berbeda, ketika pelaku dinilai sebagai warga biasa.
“Tentunya, kita tidak hanya membicarakan kasus yang sedang kita lihat saat ini. Tetapi juga tokoh atau selebriti lain yang melakukan hal-hal serupa. Dia misalnya, lepas dari proses hukum atau keluar dari penjara, kemudian mudah saja kembali lagi,” tambah dosen yang baru saja pensiun setelah 38 tahun mengajar di UGM ini.
Faktor kedua, meminjam teori yang dikembangkan pakar dari Amerika Serikat, Walt Whitman Rostow, kata Suprapto, masyarakat Indonesia mengalami lompatan yang mempengaruhi tingkat kedewasaan emosional dan sosial.
Menurut Rostow, ada lima tahap perkembangan masyarakat, yaitu tradisional, prakondisi menuju lepas landas, lepas landas, menuju kedewasaan dan era konsumsi massa tinggi. Menurut Suprapto, masyarakat Indonesia melompat dari era lepas landas langsung masuk ke era konsumsi massa tinggi.
“Akibatnya, kecerdasan emosinya rendah, sehingga mudah dipengaruhi media, bukan saja media resmi tetapi juga informasi dari media sosial. Kita tidak sempat menapaki tahap pendewasaan, sehingga sangat mudah dipengaruh oleh siapa yang lebih banyak bicara,” kata Suprapto.
Suprapto berharap media di Indonesia mau berubah, dan menempatkan kasus-kasus yang menjadikan anak-anak sebagai korban, dalam perhatian khusus. Sikap ini sangat penting terutama untuk memberikan dukungan kepada para korban.
Pengajar dan Konselor di Jurusan Bimbingan dan Konseling, Universitas Negeri Semarang, Mulawarman, menilai tayangan kebebasan Saipul Jamil itu akan sangat menyakitkan bagi korbannya.
“Ini menjadi warning, bahwa glorifikasi seperti ini dianggap sebagai dukungan terhadap perbuatan yang dilakukan pelaku, yang itu dianggap sudah selesai. Padahal banyak hal yang diderita oleh korban. Kita tidak mengerti bahwa korban ini bisa saja mengalami dampak psikologis yang sangat serius,” kata Mulawarman kepada VOA.
Korban dalam analisa Mulawarman, tidak terbatas pada korban dalam kasus Saipul Jamil. Dalam kasus lain yang serupa, kata Mulawarman, setiap korban berpotensi menderita depresi, mengalami gangguan kecemasan, dan gangguan-gangguan pasca traumatik karena kejahatan pelaku. Dampak itu tidak mudah dihilangkan.
“Di beberapa riset atau hasil penelitian, justru banyak yang mengarah atau punya kecenderungan untuk suicide, atau upaya-upaya untuk bunuh diri,” lanjutnya.
Dalam kasus semacam ini, korban merasa malu. Namun yang lebih menyakitkan lagi, lewat glorifikasi pelaku di televisi, korban merasa bahwa dia dinilai tidak lebih penting dan tidak lebih diperhatikan daripada pelaku. Kecenderungan secara umum, tambahnya, konsentrasi masyarakat dalam kasus-kasus kekerasan seksual, memang lebih banyak ditujukan kepada pelaku.
“Glorifikasi ini juga ada karena “campur tangan” media. Mustinya media-media ini sensitif, perlu menyaring konten yang tidak justru menyuarakan pelaku. Karena ini akan membuat korban makin depresi, makin rendah diri, dan makin merasa tidak bermakna. Media harus ikut menyuarakan suara kemanusiaan,” tambah Mulawarman.
Korban juga harus dibantu memahami bahwa kehidupannya saat ini masih tetap bisa dijalani dengan layak.
Untuk mencegah lebih banyak anak menjadi korban kekerasan seksual dari publik figur, Mulawarman memandang penting upaya pendidikan bagi anak-anak. Sekolah, masyarakat, dan keluarga harus bekerja sama membangun pengertian bahwa anak-anak perlu menempatkan seseorang sesuai proporsinya. Setiap orang memiliki potensi untuk dijadikan contoh yang memberi pengaruh positif.
“Kita perlu melihat, orang-orang ini, selebriti, figur publik adalah orang-orang yang bisa menjadi model anutan, terutama bagi anak-anak. Kalau anutannya saja sudah salah, maka bisa jadi salah semua nanti. Maka perlu edukasi, bahwa model anutan itu dilihat sisi positifnya. Jika ada sesuatu yang tidak baik, harus jadi bahan edukasi bahwa tidak semua sisi orang itu baik,” tambah Mulawarman.
Sudut pandang anak-anak atau remaja terhadap seorang artis, kata Mulawarman, kadang tidak proporsional. Kondisi semacam inilah yang bisa menjadi jalan masuk seorang anak menjadi korban dari figur publik. Dalam sejumlah kasus kekeraan seksual pesohor ke penggemarnya, rasa kagum yang berlebihan bisa menjadi awal potensi seorang anak atau remaja menjadi korban.
Industri televisi di Indonesia, menurut dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Bono Setyo, memang memiliki ambiguitas terutama terkait idealisme dan bisnis.
Secara normatif idealis, televisi dan industri penyiaran seharusnya berpihak pada masyarakat. Bentuknya adalah menyuguhkan siaran yang mengedukasi dan berkualitas. Kasus Saipul Jamil, kata Bono, menunjukkan televisi mengedepankan sisi bisnis yang begitu kental. Acara sambutan luar biasa dan slot siaran di televisi nasional, diakui Bono agak mengherankan dan bahkan melanggar etika. Apalagi, pesohor itu dihukum atas kasus kekerasan seksual yang menempatkan anak-anak sebagai korban.
“Mestinya ada sanksi sosial, termasuk industri televisi itu harusnya “memberikan sanksi sosial” kepada siapapun, tidak hanya artis. Entah itu artis, entah itu pejabat, yang melakukan tindakan kriminalitas atau mungkin pernah menjadi seorang narapidana,” kata Bono.
Keputusan televisi dalam kasus ini menunjukkan kredibilitas yang kurang baik. Jika masyarakat melek media dan memiliki literasi yang baik, stasiun televisi bersangkutan akan ditinggalkan.
Masyarakat selaku penonton dapat bekerja sama memperbaiki iklim penyiaran, dengan industri televisi dan sektor bisnis sebagai pemasang iklan. Masyarakat harus memilih acara-acara berkualitas, agar pemasang iklan mengalihkan anggarannya dari siaran yang tidak mendidik. Jika stasiun televisi tidak dapat “dipaksa” untuk berubah, masyarakat harus mengambil inisiatif terlebih dahulu. Jika iklan pindah ke siaran bermutu, stasiun televisi otomatis akan memproduksi siaran yang lebih baik.
Bono mengingatkan, kualitas yang buruk adalah semacam upaya bunuh diri bagi industri televisi. Sektor ini harus berpikir jauh ke depan, tidak hanya terkait teknologi, tetapi juga kompetisi. Bukan hanya kompetisi antarstasiun televisi, justru yang lebih mengkhawatirkan adalah kompetisi dengan platform media sosial yang bisa menjadi alternatif sumber tontonan.
“Masyarakat semakin cerdas untuk bisa memilih tayangan yang sekiranya lebih baik dan menyehatkan untuk dikonusumsi,” pesan Bono.
Program Studi Ilmu Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bersama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah bekerja sama selama tujuh tahun melakukan riset indeks kualitas siaran televisi. Ada delapan konten televisi yang dianalisis, yaitu berita, talkshow, sinetron, religi, wisata budaya, variety Show, program acara anak, dan infotainment.
“Secara umum, secara kualitas beberapa kategori sudah baik. Hanya saja, memang kayak sinetron dan infotainment itu masih belum bisa memenuhi standar kualitas,” tambah Bono.
Standar kualitas yang dimaksud adalah sesuai pedoman yang dikeluarkan KPI.
Hingga Selasa (7/9) sore, hampir setengah juta orang telah menandatangani petisi di laman change.org yang menolak Saipul Jamil diberi tempat kembali oleh televisi Indonesia.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengingatan, ada aturan hukum terkait produksi siaran televisi di Indonesia. Isi siaran harus terpilih, sehat untuk perkembangan anak serta beorientasi kepentingan terbaik bagi anak.
“Maraknya tayangan yang menampilkan figur pelaku kejahatan seksual terhadap anak, bukan informasi yang tepat dan berkesesuaian dengan stimulasi perkembangan anak. Pemberitaan yang berlebihan justru rentan menimbulkan beragam dampak,” kata Ketua KPAI, Susanto dalam keterangan resminya, 7 September.
Dampak yang dikhawatirkan KPAI antara lain, rentan ditiru karena melihat seorang pelaku kejahatan seksual, tetap terkesan terhormat. Dampak kedua, rentan menimbulkan kesan bahwa pelaku kejahatan seksual terhadap anak merupakan hal biasa. Padahal kejahatan seksual terhadap anak merupakan kejahatan yang menjadi konsen serius negara dan harus dicegah semaksimal mungkin. Dampak ketiga, kata Susanto, pemberitaan yang berlebihan dapat mengganggu suasana batin masyarakat dan korban.
KPAI sendiri telah menindaklanjuti keluhan masyarakat dengan surat rekomendasi kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) agar memberikan imbauan dan edukasi secara berkelanjutan kepada lembaga penyiaran untuk menjaga marwah lembaga penyiaran. KPAI juga meminta KPI menyesuaikan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) dengan prinsip-prinsip perlindungan anak, termasuk berorientasi perlindungan terhadap korban, saksi dan pelaku anak.
“Karena pemberitaan pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang berlebihan rentan mengganggu psikologis korban,tidak sesuai dengan etika dan kepatutan penyiaran di ruang publik, serta dampak lainnya,” tambah Susanto.
KPI telah meminta seluruh lembaga penyiaran televisi tidak melakukan amplifikasi dan glorifikasi pembebasan Saipul Jamil dalam isi siaran.
“Kami berharap seluruh lembaga penyiaran memahami sensitivitas dan etika kepatutan publik terhadap kasus yang telah menimpa yang bersangkutan dan sekaligus tidak membuka kembali trauma yang dialami korban,” kata Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, Senin (6/9).
KPI juga meminta lembaga penyiaran lebih berhati-hati menayangkan muatan-muatan perbuatan melawan hukum atau yang bertentangan dengan adab dan norma seperti penyimpangan seksual, prostitusi, narkoba dan tindakan melanggar hukum lainnya yang dilakukan artis atau publik figur.
KPI meyakini, hak individu memang tidak boleh dibatasi, tetapi hak publik dan rasa nyaman juga harus diperhatikan. Alasannya, frekuensi adalah milik publik dan harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan, kesejahteraan dan kenyamanan masyarakat.
“Mengedepankan hak individu tapi melukai hak masyarakat tentu tidak patut dilakukan,” tambahnya.
Mulyo juga mengatakan, momentum revisi P3SPS tahun 2012 yang sedang dilakukan KPI akan menjadi bahan pertimbangan dan masukan pengaturan secara eksplisit tentang hal ini. KPI sendiri telah mengirim surat peringatan kepada 18 stasiun televisi terkait kasus ini. [ns/ab/VOA]