JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Para ilmuwan kembali mengingatkan ancaman bencana di planet bumi akibat badai matahari ekstrem. Pasalnya, badai matahari tersebut berpotensi melumpuhkan teknologi di Bumi. Selama lebih dari 160 tahun, Badai matahari belum melanda planet ini, meskipun sempat datang hampir berbahaya pada tahun 2012.
Menurut Gabor Toth, Profesor Ilmu dan Teknik Iklim dan Antariksa di Universitas Michigan, hanya ada dua bencana alam yang dapat berdampak pada seluruh AS. Salah satunya adalah pandemi dan yang lainnya adalah peristiwa cuaca luar angkasa yang ekstrem. Bahaya yang ditimbulkan oleh aktivitas matahari yang meningkat, telah melahirkan inisiatif bagi para ilmuwan untuk mengembangkan model peramalan baru untuk cuaca luar angkasa yang berbahaya.
Dijuluki program Space Weather with Quantified Uncertainties (SWQU), inisiatif ini dibuat tahun lalu oleh NASA dan National Science Foundation (NSF). Diantara solusi yang diusulkan untuk masalah tersebut adalah model peramalan yang dikembangkan oleh Profesor Toth dan timnya di University of Michigan.
Versi yang ditingkatkan dari model tersebut telah digunakan oleh Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional AS (NOAA) sejak Februari tahun ini. Versi Model Geospace yang disebut telah ditingkatkan ke versi 2.0, menggantikan model 1.5 yang digunakan sejak 2017. Alat ini memprediksi gangguan di tanah yang disebabkan oleh interaksi dengan angin matahari, aliran partikel bermuatan yang keluar dari Matahari dan keluar ke luar angkasa.
Para peneliti sangat tertarik untuk mengamati ejeksi massa koronal atau CME (pengusiran besar plasma dan medan magnet dari korona Matahari) CME yang kuat diyakini bertanggung jawab atas Peristiwa Carrington.
“Itu terjadi lebih awal di Matahari. Dari titik itu, kita dapat menjalankan model dan memprediksi waktu kedatangan dan dampak peristiwa magnetik,” tambahnya.
“Kami bekerja sejuta kali lebih cepat daripada simulasi brute-force dengan menciptakan pendekatan dan algoritma yang cerdas,” tandasnya. (ATN)