Sepucuk telegram dari Kapolri, Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo terbit pada 26 Juli 2021 lalu. TR bernomor 1506/VII/Kep/2021 itu berisi rotasi dan mutasi pejabat di tubuh Polri. Di salah satu diktumnya, sang jenderal menugaskan seorang perwira polisi kebanggaan Sulawesi Tenggara untuk memimpin perang melawan Narkoba di jazirah Sulawesi Selatan. Sang perwira didapuk jadi Direktur Reserse Narkoba (Dirresnarkoba) Polda Sulsel.
Namanya La Ode Aries El Fathar. Pangkatnya Komisaris Besar Polisi alias Kombespol. Ia jebolan Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 1994. Sebelum “naik kelas”, 17 bulan terakhir ia memimpin Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sultra sebagai Direktur. “Insya Allah, Jumat pekan depan saya serah terima di Polda Sulsel,” buka sang perwira saat saya menyambangi ruang kerjanya di Polda Sultra, akhir pekan lalu.
Beberapa dokumen penting masih ia teken kala saya bertandang, di sebuah siang ba’da salat Jumat. Seorang stafnya menawari kopi. “Selasa besok mau serah terima di Polda Sultra dengan Dirreskrimum yang baru. Santai saja bro, disini bebas kok,” ucap lelaki kelahiran 18 April 1971 itu sembari menjeda aktivitasnya, meneken beberapa dokumen yang dibawa stafnya.
Karier La Ode Aries tergolong mentereng. Dipercaya Jenderal Sigit sebagai amunisi anyar di Direktorat Narkoba dengan wilayah yang lebih luas tentunya bukan tanpa alasan kuat. “Sebelum memimpin Ditreskrimum, saya pernah jadi Wadirserse Narkoba Polda Sultra. Jadi, ini bukan sesuatu yang benar-benar baru. Lagi pula, kami ini memang harus selalu siap dengan penugasan apapun dari pimpinan,” tandasnya.
Kenapa saya tiba-tiba berada di ruang kerja sang direktur? Sebagai adik, saya wajib sowan dan menyampaikan selamat atas tugas barunya. Kedua, sebagai polisi, Kombespol La Ode Aries lumayan dekat dengan kami, para penyelenggara Pemilu. Perannya dalam menegakan hukum Pemilu begitu terasa. Saya ingin berbincang soal pengalamannya “mengurusi” Pemilu dan Pilkada selama bertugas di Sultra.
Bagi La Ode Aries, saat seorang personil polisi mengawal pesta demokrasi, ia harus bisa memposisikan diri secara psikologis sebagai pelayan. Targetnya adalah, yang dilayani merasa puas. “Saya pernah bertugas sebagai penyidik pidana Pemilu. Semuanya lancar karena kita masuk ke kontestan Pemilu dengan pendekatan psikologis. Kita cegah mereka agar tidak melakukan tindak pidana,” kisah pemilik club bola Dua La Ode ini.
Sejauh yang ia amati, kontestasi politik di tanah Muna yang suasananya memang selalu berbeda. Publik di kampung halamannya itu benar-benar memiliki evort yang tinggi terhadap jalannya Pilkada maupun Pemilu. Dukungan mereka terhadap kandidat tertentu terasa sangat kuat. Makanya, treatmennya juga berbeda.
“Saudara-saudara saya di Muna itu agak beda. Tapi saya turun, memberi pencerahan dan pendekatan psikologis. Alhamdulilah, meski ada riak-riak kecil selama perjalanan Pilkada belum lama ini misalnya, semua selesai setelah KPU memutuskan dan menetapkan pemenangnya,” urai mantan Kapolres Kolaka Utara ini.
Di mata sang perwira, bila ada yang perlu dibenahi dalam proses hukum Pemilu, maka yang utama adalah level hukuman. Menurutnya, agak sulit memberi efek jera bila tenggang waktu penyelidikannya terbatas dan hukumannya relatif ringan. Harusnya, proses semacam ini bila perlu, bahkan saat seorang kandidat sudah terpilih dan bertugas, lalu kemudian terbukti bersalah, maka ia wajib bertanggungjawab.
“Masyarakat kadang melapor ke Sentra Gakumdu, dimana ada kami, kepolisian di dalamnya. Masalahnya, ketika dilakukan penyelidikan, buktinya tidak cukup sementara waktunya dibatasi. Akhirnya kami dianggap tidak bisa melakukan apa-apa. Padahal, masyakarakat perlu tahu bahwa pidana Pemilu itu ada kekhususan, utamanya soal waktu yang dibatasi. Semoga ada pembenahan di masa depan,” harapnya.
Mantan Kapolsek KPPP Sorong ini menganggap, masalah politik uang masih akan selalu jadi “hantu” di setiap hajatan demokrasi. Masalahnya, terkadang sulit membuktikan terjadinya praktik ini karena transaksinya dibungkus dengan kegiatan sosial. Mulai dari bantuan sembako, sumbangan rumah ibadah dan atau sedekah kepada kaum miskin.
“Nah, kalau ini terjadi selama kontestasi, pasti ada pihak yang menganggapnya sebagai politik uang. Tapi membuktikannya kan sulit, apalagi kalau pelaporanya tidak disertai bukti kuat. Saat kita mau telusuri, kadang waktunya tidak cukup. Kalaupun terbukti, hukumannya paling setahun. Hal-hal semacam ini memang butuh terobosan hukum pemilu di masa depan,” tukasnya.
Ketua KPU Sultra, La Ode Abdul Natsir Muthalib juga punya kesan baik terhadap sosok Kombespol La Ode Aries El Fathar selama bertugas di Sultra. “Oh, beliau hangat dan bersahabat. Sinergi kami di KPU dengan kepolisian selama Pemilu maupun Pilkada bersama beliau terbangun dengan sangat baik,” La Ode Abdul Natsir memberi kesannya, saat saya menghubunginya sebelum menulis catatan ini.
Sebagai perwira polisi, Kombes Pol Aries pandai memainkan perannya. Ia mewanti-wanti para penyelenggara Pemilu agar bekerja berintegritas dan menataati setiap regulasi kepemiluan. Sinergi yang terbangun bukan pada menghukum tapi mencegah agar tidak terjadi pelangaran pidana pemilu.
“Saya mengenal beliau secara personal. Dia itu Ketua OSIS kami di SMA 1 Raha. bakat kepemimpinannya sudah terlihat. Saya kira, bila kemudian dia dipercaya Kapolri memimpin Ditresnarkoba Polda Sulsel, salah satunya karena kepiawaiannya memimpin unit kerjanya, humanis dalam bertugas dan selalu mengedepankan aspek pelayanan,” kata rekan sekelas La Ode Aries ini.
Lalu legacy apa yang ditinggalkan La Ode Aries di Sultra? Selama memimpin Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sultra, lelaki jebolan PTIK tahun 2004 ini punya satu terobosan menarik dalam penegakan hukum. Ia menganjurkan kepada semua penyidiknya agar menerapkan pola restoratif justice. “Penyelesaian hukum itu tidak selalu harus ada yang dihukum. Itu prinsipnya,” tukas sang perwira.
Secara gamblang ia mengulasnya. Baginya, percuma menegakan hukum bila mereka yang mencari keadilan itu tidak berjabat tangan. Artinya, prinsip hukum itu adalah untuk membuat tenteram. Makanya, ia tekankan agar kasus-kasus yang bisa didamaikan, tidak perlu dibawa ke pengadilan.
“Kasian kan, orang melapor ditipu atau jadi korban penggelapan tapi uangnya tidak kembali. Makanya, kita buat terobosan. Selama kedua pihak berdamai dan masalah mereka tuntas dihadapan penyidik, maka kasusnya kita hentikan,” tutur perwira yang memulai kariernya di korps baju cokelat ini dengan pangkat Letnan Dua Polisi.
Rupanya, kata Aries, ini jadi role model nasional. Kapolri dalam waktu dekat akan menerbitkan Peraturan Kapolri alias Perkap untuk mengaturnya lebih detail. Tujuannya, agar para pencari keadilan itu bisa menyelesaikan masalah tanpa perlu ada yang dihukum. Sepanjang bisa didamaikan, dan semua menerima dengan lapang, mereka berjabat tangan, maka kasus ditutup.
“Apalah artinya hukum ditegakan kalau tidak berjabat tangan. Ini akan berlaku secara nasional, dan kami sudah mendahuluinya di Polda Sultra. Itu yang saya terapkan selama setahun lebih memimpin direktorat ini. Masyarakat ini kan kadang-kadang baru bisa kelar kasusnya kalau sudah dibantu polisi mendapatkan haknya,” imbuhnya.
Ada sederet jejak kepemimpinan yang pernah dilakoni La Ode Aries. Usai menuntaskan pendidikanya di Akpol tahun 1994 lalu, kariernya dimulai di tanah Papua. Tahun 1995 lalu, ia jadi Kaurbinops Serse di Polres Fak-fak, Polda Papua. Terakhir bertugas di Bumi Cenderawasih, ia menjabat Kasatserse Polres Sorong, yakni sekitar tahun 2001 sebelum akhirnya mengikuti Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
Lepas dari PTIK di tahun 2004, ia ditugaskan sebagai perwira menengah di Polda DI Yogyakarta, dengan pangkat Komisaris Polisi. Ia lalu berpindah ke Polda Metro Jaya, kemudian ke Polda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), dan kembali ke Jakarta sebagai penyidik muda di Tipiter Bareskrim Polri. Barulah pada tahun 2009, ia pulang kampung. Tugas pertamanya di Polda Sultra sebagai Kasat I Ditreskrim.
Tahun 2011 lalu, saat pangkatnya naik menjadi Ajun Komisaris Besar Polisi, ia dipercaya jadi Kasubdit I Ditreskrim. Tak lama berselang, masih di tahun yang sama, ia dipercaya jadi Kapolres Kolaka Utara. Setahun bertugas di Bumi Patammpanua, ia kembali ke Polda Sultra. Tahun 2014 silam, ia mengampu jabatan sebagai Wadir Resnarkoba Polda Sultra.
Saat pangkatnya naik lagi jadi Kombespol, kariernya juga ikut melesat. Ia didaulat jadi Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sultra. “Alhamdulilah, tahun 2021 ini dipercaya Kapolri bertugas di Polda Sulsel memimpin Direktorat Narkoba. Ini tantangan sekaligus pembuktikan, bahwa anak-anak Sultra juga bisa berkarier di daerah lain. Doakan ya…!” harapnya.
Saat masih remaja, bakat Aries sebagai seorang pemimpin juga sudah terlihat. Di SMA 1 Raha, ia mengambil jurusan Fisika. Kala duduk di bangku kelas II dan III, ia didaulat kawan-kawannya sebagai Ketua Kelas, hingga kemudian terpilih jadi Ketua OSIS. “Waktu tes Akpol dulu, tahun 1991, dia itu bolak-balik Raha-Kendari, naik kapal kayu. Dia bilang, tes-tes saja. Kalau lolos, Alhamdulilah,” kenang rekan seangkatan La Ode Aries, Jumwal Shaleh,
Ketua KPU Kota Kendari itu mengenal Aries sejak SMP. Karakter kawannya itu memang menyenangkan, dan selalu jadi bintang di kelasnya. Pembawaanya santai dan suka humor. “Dia juara kelas saat SMP. Makanya, masuk SMA dia dikumpulkan di kelas para peraih NEM tertinggi di Raha. Kalau kemudian kariernya sekarang di kepolisian melesat, saya kira memang karena beliau cakap,” tukasnya.
Soal itu, La Ode Aries hanya tertawa ketika ditanya. Baginya, ia memang menyukai hidup yang bisa bermanfaat bagi orang lain. “Saya itu senang bikin orang senang. Soal club bola misalnya. Itu bukan karena saya suka bola, tapi saya senang bisa bikin anak-anak yang suka bola itu senang. Mereka ada yang fasilitasi. Kebetulan saya bisa, saya bantu,” begitu alasan Aries soal posisinya sebagai pemilik sebuah club bola di Muna.
Jelang petang, saya pamit dari ruangannya. Ia juga hendak bergegas pulang. “Jangan putus komunikasi ya Dinda…jika suatu saat ke Makassar, kontak saja. Semoga tugasnya di KPU Bombana sukses. Saya kenal beberapa anak Kabaena yang baik dan punya potensi besar,” pesannya, sebelum kami berpisah di tangga Direktorat besar yang sudah ia pimpin itu.
Sumber : Facebook Abdi Mahatna