Renungan Ramadhan 1442 Hijriah
Oleh: Makmur Ibnu Hajar
Maha Suci Allah, kalimat suci itu layak kita senandungkan dengan penuh penghayatan trasedental, lantaran Allah SWT masih memberikan kepada kita untuk menikmati kesempatan yang penuh magfirah, karunia dan rakhmat untuk melatih, meningkatkan kualitas dan mengaktualisasikan sikap sabar selama satu bulan, dalam bulan suci Ramadan 1442 hijriah ini. Kesabaran sebagai ranah kejiwaan (psikologis), akan bermakna jika diaktualisasikan dan dipraktekkan. Bulan suci Ramadhan ini, kita mendapat kehormatan, rahmat dan karunia dar Allah manakala ibadah puasa ini kita dijalankan dalam kualitas spiritual yang ihlas, sebagai upaya melatih kesabaran itu. Ini adalah masalah momentum, dan momentum ini datang setahun sekali dan banyak diantara kita yang tidak berkesempatan menikmati karunia Ramadan ini. Mungkin karena sedang berbaring di rumah sakit, dengan pernafasan dibantu tabung oksigen, oleh karena kondisi tersebut, maka tidak sanggup menjalankan ibadah puasa, atau sedang mengalami kemunduran dan bencana keimanan, sehingga tidak lagi memandang puasa sebagai ibadah yang wajib ditunaikan sebagai manifestasi ketundukan kepada Allah SWT.
Ibadah puasa Ramadan, esensinya adalah karuniaAllah , yaitu karunia yang dianugrahkan kepada manusia yang beriman, sebagai media atau sarana yang bersifat wajib, untuk melatih kerendahan hati dan memperkuat kesabaran. Syekh Ragip menjelaskan konsep kesabaran ini dari sisi makna semantik, bahwa kata “shabr” dalam bahasa Arab, yaitu ketabahan dan keteguhan menjalankan niat. Dalam konteks ranah manivestasinya, kesabaran itu ada dua jenis, yaitu pertama, kesabaran menghindari atau menjauhi, yakni kita harus bersabar menjauhi segala hal yang semestinya tidak kita lakukan. Sabar berarti kita menolok untuk didominasi oleh nafsu kita, yang sejatinya berpusat pada diri kita. Secara faktual, jenis kesabaran ini yaitu ketika kita menolak dorongan nafsu untuk menumpuk kekayaan yang bersumber dari merampas hak orang lain atau menyalahgunakan kewenangan yang sedang kita emban. Sedangkan sabar yang kedua adalah sabar dengan penuh istiqamah untuk menjalankan kebaikan dan kearifan, baik itu laku spiritual maupun laku muamalah. Kesabaran jenis ini adalah ketekunan yang konsisten secara dinamis untuk mempertahankan kebaikan-kebaikan. Dalam mendirikan sholatpun dibutuhkan kesabaran, baik kesabaran terkait dengan disiplin waktu maupun disiplin untuk tidak meninggalkan shalat fardhu. Dalam kaitan dengan ritual shalat ini, menurut Syekh Ragip Frager, jika kita membangun dan melatih kesabaran sedikit demi sedikit dalam melaksanakan shalat, maka kita benar-benar akan mencapai kehadiran hati (khusyu) ketika mendirikan shalat. Jadi perilaku konsisten (istiqamah), telaten, tidak tergesa-gesa, dan rendah hati (tawadhu), adalah dimensi-dimensi aktual dalam perilaku untuk mencapai sikap sabar.
Kesabaran adalah suatu kualitas kepribadian yang luar biasa. Kesabaran sebagai kualitas kepribadian akan memancarkan kearifan (wisdom) dan kebajikan. Demikian tingginya nilai kesabaran, maka kata tersebut diabadikan atau disebut dalam Al Quran sebanyak 90 kali, dan menjadi salah satu sifat Allah SWT yang Agung dan diperintahkan kepada manusia agar memiliki sifat tersebut, melalui proses internalisasi sikap dan perilaku. Dalam sebuah firman Allah SWT, sabar dan shalat, disejajarkan fungsinya sebagai sarana penolong, agar kita tidak terjebak dan terseret dalam kezaliman dan kemungkaran. Dalam konteks seperti yang digambarkan di atas, Allah SWT berfirman: “ Hai orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya ALLAH beserta orang-orang yang sabar”. (QS al-Baqarah:153). Semoga sikap sabar menjadi sikap yang integral dari laku sosial kita, sehingga kita menjadi karunia atas lingkungan kita, bukannya justru menjadi sumber bencana. Wallahuallam bissawab*.