Pemerintah Diminta Libatkan Milenial dalam Melawan Terorisme di Internet

Foto: Ilustrasi. 

JAKARTA, LENTERASULTRA.COM  – Pengamat intelijen dan terorisme Universitas Indonesia, Stanislaus Riyanta, mendorong pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam menghalau penyebaran terorisme di internet. Penyebaran konten terorisme di internet melalui berbagai macam platform dinilai semakin masif.

Di samping itu, menurut Stanislaus, upaya pencegahan yang dilakukan pemerintah, mulai dari penghapusan konten dan situs yang mengandung konten terorisme, dianggap kurang efektif. Sebab pertumbuhan konten yang mengandung terorisme tumbuh sangat pesat di internet.

“Kominfo memang sudah menghapus (take down) situs-situs yang menyebarkan paham radikal. Tapi satu diturunkan, bisa muncul ratusan situs yang lainnya dalam waktu cepat,” jelas Stanislaus Riyanta kepada VOA, Rabu (17/2).

Stanislaus menambahkan pemerintah dapat mengajak generasi milenial untuk menggarap konten tandingan di internet. Semisal konten tentang Pancasila dan nasionalisme yang lebih menarik generasi remaja sehingga tidak terpapar paham radikalisme.

Ia juga telah melakukan wawancara terhadap belasan remaja yang terpapar terorisme di internet. Sebagian besar dari mereka terpapar paham tersebut karena mengalami persoalan di keluarga. Karena itu, katanya, perlu dilakukan penguatan di tingkat keluarga dalam melakukan deteksi awal terorisme di tingkatan terkecil.

“Jadi ketika mereka bermasalah, mereka mendapatkan sesuatu di internet. Di usia mereka yang muda, mereka membutuhkan nilai dan eksistensi,” tegasnya.

Menurut Stanislaus, penyebaran konten terorisme di internet dilakukan oleh kelompok ISIS atau Jamaah Ansharut Daulah (JAD) untuk di Indonesia. Kelompok ini berbeda dengan kelompok al-Qaeda yang memiliki organisasi yang rapi dan tertutup dalam perekrutan anggota.

ISIS, katanya, cenderung oportunis, seperti memanfaatkan internet dalam penyebaran paham terorisme dan tidak mempermasalahkan keterlibatan perempuan dan anak-anak di bawah umur dalam aksi penyerangan. Hal ini dapat dilihat pada peristiwa bom Surabaya pada 2018 di mana seorang perempuan, yang mengajak anaknya, mengambil peran utama sebagai pelaku bom bunuh diri.

Penyebaran paham terorisme di internet, kata Stanislaus, juga membuat gerakan mereka tidak sistematis dan cenderung bergerak secara individu (lonewolf). Hal tersebut berakibat deteksi dan pencegahan terhadap potensi serangan terorisme secara individu sulit dilakukan.

“Mereka biasanya melihat konten di website-website. Setelah intens dan ada respons, mereka lebih mendalami di grup percakapan yang lebih eksklusif,” tambahnya.

Sebelumnya, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menyoroti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah melahirkan senjata baru, yaitu internet, siber dan media sosial. Menurutnya, kekuatan media sosial telah mampu menggulirkan kerusuhan di berbagai negara.

“Kekuatan medsos telah menggulirkan kerusuhan di beberapa negara, seperti Eropa, Amerika Serikat, Myanmar dan Thailand,” jelas Hadi Tjahjanto dalam Rapat Pimpinan TNI tahun 2021 pada Selasa (16/2), seperti dikutip dari laman resmi tni.mil.id.

Ia juga menyoroti penggunaan internet untuk menyebarkan paham radikalisme dan terorisme, serta rekrutmen terhadap generasi muda dengan memanfaatkan media sosial dan menyebarkan propaganda-propaganda.

Sementara Kementerian Komunikasi dan Informatika telah memblokir dan menurunkan 16.739 konten dari media sosial dan website terkait isu terorisme pada Juli 2017 hingga Juli 2020. Konten tersebut tersebar di Facebook yang mencapai 11.600an konten, Twitter 2.282 konten, website 496 konten dan Youtube 678 konten, serta berbagi berkas (file sharing) yang mencapai 1000an. [sm/ah/voa]

Pemerintah Diminta Libatkan Milenial dalam Melawan Terorisme di InternetSultra