JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Para investor China berkomitmen penuh untuk menjadikan Indonesia sebagai basis industri baterai lithium dan mobil listrik di kawasan Asia.
Para investor China bahkan akan menggandeng investor global dari berbagai negara seperti Perancis, Jepang, Korea Selatan, Australia, Taiwan dan negara lainnya untuk memperkuat investasi mereka di Indonesia.
Komitmen para investor China itu mereka sampaikan saat bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam kunjungan kerjanya ke Yunan, China pada tangal 9-11 Oktober 2020 bersama Duta Besar RI Djauhari Oratmangun.
Dilansir dari Asiatoday.id, para investor tersebut rata-rata bergerak di berbagai industri turunan mobil listrik dan baterai lithium. Mereka antara lain CATL+Brunp+Ningbo (pembuat baterai lithium-ion untuk kendaraan listrik dan sistem penyimpanan energi, serta daur ulangnya); Huayou Cobalt (pemasok kobalt, termasuk kobalt tetroksida, kobalt oksida, kobalt karbonat, kobalt hidroksida, kobalt oksalat, kobalt sulfat, dan kobalt monoksida); Delong Steel/Dexin Steel Indonesia (carbon steel); dan Tsingshan Group (stainless steel, lithium battery).
Hasil produk mereka akan meningkatkan angka ekspor Indonesia ke Asia Tenggara, Asia Timur, Asia Tengah, Australia, Eropa dan Amerika.
Investasi tersebut selama ini sudah mengacu pada 4+1 Rule of Thumbs: Ramah Lingkungan, Transfer Teknologi, Penciptaan Lapangan Kerja (Menggunakan Tenaga Kerja Lokal), Penciptaan Nilai Tambah, Kerjasama berbasis B2B. Dalam konnteks ini para investor sudah dan akan terus fokus untuk mendukung peningkatan pendidikan dan pelatihan keahlian bagi tenaga kerja lokal.
Para perusahaan melihat prospek mobil listrik dan permintaan domestik untuk produk baja dan lithium baterai di Indonesia maupun di dunia semakin cerah. Apalagi dengan sejumlah kebijakan, seperti rencana mewajibkan pengendaraan kendaraan dinas pemerintah hanya boleh yang berbasis listrik mulai tahun depan. Selain itu, determinasi Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, sesuai dengan komitmennya terhadap Paris Agreement yaitu menurunkan emisi carbon 29 persen pada tahun 2030, dan 41 persen dengan dukungan internasional menjadi pertimbangan positif.
Begitu juga di negara lainnya, Uni Eropa mengeluarkan berbagai peraturan untuk phasing-out sama sekali kendaraan berbahan bakar fosil dalam 20 tahun kedepan. Tren bergerak ke arah kendaraan listrik juga terjadi di Tiongkok, India, Amerika Serikat dan lain-lain.
Menko Luhut menegaskan bahwa bukan nominal investasi yang penting, tapi dengan masuknya industry tersebut, secara bertahap ekosistem industri kendaraan listrik dan future energy bisa berkembang di Indonesia.
“Apabila semua atau sebagian besar supply chain yang terkait bisa diproduksi di Indonesia, maka Indonesia bisa menjadi pemain kunci secara global di industri masa depan ini,” kata Luhut dikutip dari siaran pers Marves, Selasa (27/10/2020).
“Apabila Indonesia bisa dominan di industri baterai maka postur Indonesia di kancah geopolitik akan semakin kokoh. Itu ambisi Presiden Jokowi dan saya. Ini harus jadi sebelum masa tugas Presiden berakhir. Baterai akan menjadi solusi untuk banyak masalah global saat ini” sambung Menko Luhut.
Untuk diketahui, pengunaan luas baterai dalam sistem tenaga listrik dapat memungkinkan sekitar 600 juta orang yang belum ada akses ke listrik untuk mendapatkan akses ke energi pada tahun 2030, menurut Global Battery Alliance. Bank Dunia juga melaporkan bahwa pada tahun 2030, sekitar 650 juta orang mungkin masih hidup tanpa listrik, terutama di sub-Sahara Afrika. Untuk membantu mengatasi masalah ini, microgrid dengan baterai sedang digunakan di seluruh wilayah itu.
Selain itu pada tahun 2030, mobil penumpang akan menjadi bagian terbesar dari permintaan baterai global, sekitar 60 persen, diikuti oleh kendaraan komersial (23 persen), menurut Global Battery Alliance. Personal elektronik (seperti iPhone dan tablet) sendiri, akan menyusut dari lebih dari seperlima pasar baterai global menjadi hanya pangsa “marjinal”, menurut aliansi tersebut.
Karena permintaan baterai global tumbuh sekitar 25 persen setiap tahun dari sekarang hingga tahun 2030, mereka tidak hanya akan memberi daya pada transportasi yang semakin berlistrik, tetapi juga akan memfasilitasi peralihan dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil ke model yang lebih berkelanjutan.
Saat ini produsen mobil dan baterai dunia berlomba mencari destinasi investasi untuk fasilitas produksi mereka. Seperti Gigafactory Tesla di dekat Reno, Nevada di AS, yang dimiliki dan dioperasikan oleh produsen tersebut bersama pemasok baterainya, Panasonic.
Menurut laporan media 2019, Tesla mengindikasikan bahwa kurangnya baterai yang tersedia dari vendor luar telah membatasi produksinya, oleh karena itu Tesla sedang mencari cara untuk membuat sel baterai sendiri. Northvolt, pembuat baterai Swedia, mengumpulkan dana USD1 miliar pada tahun 2019 dari investor termasuk Volkswagen dan BMW untuk menyelesaikan pabrik baterai lithium-ion terbesar di Eropa.
Peningkatan produksi kendaraan listrik dapat menghasilkan penciptaan 10 juta pekerjaan, dan nilai ekonomi sekitar USD150 miliar karena berkontribusi pada kemajuan terkait dengan Perjanjian Paris tentang perubahan iklim, menurut Global Battery Alliance.
Oleh karena itu Menko Luhut menyambut baik rencana CATL+Ningbo+Brunp menjadikan fasilitasnya di Indonesia sebagai Pusat Pengembangan Baterai Listrik Terintegrasi yang terbesar di dunia sebagaimana disampaikan oleh Chairman Ningbo Brunp/ Perwakilan Chairman CATL Li Changdong.
CATL yang merupakan perusahaan baterai lithium terbesar di dunia akan menjadikan Indonesia sebagai pusat pengembangan dan produksi baterai lithium ketiganya, setelah China dan Jerman.
Di Indonesia CATL berencana mengembangkan pertambangan nikel, pabrik pengolahan nikel, pabrik material baterai litium sampai dengan pabrik mobil listrik. CATL juga akan mengajak mitra-mitra yang terkait untuk menginvestasi dan membangun perindustrian terkait juga di Indonesia. CATL sendiri sekarang bermitra dengan Tesla, Daimler dan beberapa nama besar lainnya. (ATN)