Kehidupan Hanya Sekotak Trauma Anak di Balik Jeruji Besi

Kepala LPKA kelas II Kendari memeriksa anak pidana di blok hunian. Foto:1 Anakia.

KENDARI, LENTERASULTRA.COM – “Bukan sekedar ditampar, tapi dipukul uluhati, muka atau biasanya disuruh guling-guling ke lantai atau tanah. Pernah napi bernama Adit, dipukul sama petugas sampai biru (lebam) matanya…”

Trauma di Lapas Kelas IIA Kendari
MINGGU, 25 Agustus 2019, AR (49 th) berprofesi sebagai guru Sekolah Menegah Pertama di Kab. Konawe Selatan, mendapat kabar dari telepon bahwa IN (16 thn) anak satu-satunya, dicari polisi terkait kasus pemerkosaan siswi SMP pada malam minggu sebelumnya.
Kaget dan marah, ganggang pintu kamar IN langsung didobrak, untuk mencari tahu benar atau tidaknya kabar itu. Ternyata IN tidak ada dalam kamar. Sejak semalam IN belum pulang ke rumah. Tak lama kemudian telepon kembali berbunyi. Kali ini mengaku dari Kepolisian Resort Konawe Selatan (Polres Konsel) yang mencari tahu keberadaan IN.

“Sa’ bilang tidak tahu da” ada dimana!” Kata AR.
Walaupun sempat buron, kesokan harinya IN menyerahkan diri ke aparat Polres Konsel. “Sa’ bilang, jang’ ko’ lari ‘nak. Harus berani bertanggungjawab.” Semangat AR pada IN kala itu.

Sebagai ibu, AR tidak akan mengakui kesalahan anaknya. “Sejak sa’ cerai sama bapaknya, da’ kurang perhatian, karena dulu da’ hanya takut sama bapaknya.” Kata AR.

Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, IN harus menjalani masa pembinaan di Lapas/Rutan Kelas II Kendari selama 1 tahun 5 bulan sesuai dengan pasal 82 ayat 1, UU RI Nomor 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

Setelah 15 hari masa tahanan di Polres Konsel, IN memasuki Lapas Kelas IIA Kendari, tertanggal 09 September 2019. Sejak itu IN menjalani masa-masa sulit untuk beradaptasi. Setiap malam tidak bisa tidur, stres, takut, rindu pada ibunya atau menangis diam-diam.

“Ada niat mau bunuh-diri saja, sa’ mau telan silet.” Kata IN frustasi.

Sebagai tanda selamat datang di Lapas Kelas IIA Kendari, IN sudah “dihadiahi” pukulan, tamparan dari petugas piket sejak di pintu masuk. “Pokoknya dipukul diwajah, ditelinga, sampai lupa berapa kali. Sa’ hanya memohon jangan dipukul ke perut. Karena ada bekas luka operasi.” Sambil memperlihatkan 18 jahitan bekas luka akibat kecelakaan bermotor beberapa tahun lalu.
Selama di Lapas Kelas IIA Kendari. IN harus tidur bersama 34 napi campur dewasa, beralaskan tikar, kasur tipis. Sebagai sesama teman sekamar, dimata napi lainnya IN jadi sasaran plonco, disuruh jalan jongkok. Namun tidak pernah dipukul.

“Palingan cuma ditanya-tanya apa kasusmu? Kenapa masuk kesini? Yang tanya kepala kamar bernama Agung. Ia pelaku kasus pembunuhan.” Ingatnya.

Didalam Lapas juga IN bertemu “teman baru” sesama anak-anak pelaku pidana yang berasal dari Konawe Selatan (Konsel). Rata-rata mereka adalah pelaku pidana berkenaan pasal 81 UU Perlindungan anak. Merekalah yang membantu IN beradaptasi dalam Lapas.

Kehidupan di Lapas mirip jahanam dan menyisakan trauma bagi IN. Makanan yang diberikan kadang basi dan berulat. Yang bikin resah IN, jelang tengah malam, biasanya ada tawuran antar penghuni Lapas. Tawuran biasanya melibatkan napi beda kamar. Penyebabnya hal sepele, saling singgung etnis dan suku. Paling sering clash itu antara etnis tolaki dan bugis.

Awal tahun 2020, peresmian LPKA Kelas II Kendari di Nanga-naga menjadi kabar baik bagi IN bersama napi anak lainnya. Berdasarkan data LPKA Kelas II Kendari, terdapat 29 anak binaan dari berbagai kabupaten-kota yang “pindah rumah” dari Lapas/rutan sebelumnya. Selama di LPKA, IN ditempatkan sekamar dengan 5 anak lainnya. Mereka adalah pelaku kasus pelecehan-pencabulan, kasus pencurian, hingga kasus pembegalan.

Selain kenal beberapa wajah lama sejak dari lapas sebelumnya, ada juga wajah-wajah baru yang dikenal IN. Mereka adalah BR (Konawe), RN (Konsel) DW (Kendari) RH (Konsel), AL (Kaledupa) “Sa’ paling jengkel dengan teman sekamar namanya BR. Sok’ jadi kepala kamar. Malas bersihkan kamar. Mau dibilang sebagai pelaku kasus pembunuhan padahal cuma pelaku pencurian” Ingat IN. Tradisi dalam Lapas/Rutan terdapat sistem pembagian kelas berdasarkan kasus perkara. Mereka yang berkuasa biasanya dipegang oleh pelaku pembunuhan, perampokan. Sementara bagi pelaku pencurian, jambret, atau pelecehan/pencabulan seksual tugasnya melayani “bos” dalam sel tahanan.
Meskipun namanya lembaga pembinaan, bukan berarti anak binaan bebas dari kekerasan fisik para petugas jaga. Sejak awal diresmikan, anak binaan LPKA Kelas II Kendari masih sering mendapatkan kekerasan fisik, pukulan atau tamparan jika melanggar aturan.

Aturan jam istrahat saat malam di LPKA diantaranya tidak boleh ribut, tidak boleh begadang atau tidak boleh merokok.
IN pernah kedapatan merokok dalam LPKA. rokok itu didapatkan dari puntung bekas petugas jaga yang dipungut depan kamar. ia harus menerima sanksi dari petugas jaga. “Bukan sekedar ditempeleng (ditampar), tapi ditinju (dipukul) uluhati, muka atau biasanya disuruh guling-guling ke lantai atau tanah. Pernah napi bernama Adit, dipukul sama petugas sampai biru (lebam) matanya. Memang pak Margono, Kepala LPKA pertama itu dikenal kejam. Syukur da’ cepat diganti.” Ketus IN.

Terhitung sejak Februri 2020, peran Rasid Margono sebagai Ka. LPKA diganti oleh Akbar Amnur. Dalam sistem pembinaan LPKA Kelas II Kendari. Sejak pukul 06.00 – 09.00 Wita, Anak binaan diwajibkan bangun pagi untuk ikut senam pagi, dilanjutkan push-up 50 kali, hingga membersihkan halaman area LPKA. Setiap hari anak binaan diberi makan 3 kali, pukul 10.00 Wita, 15.00 Wita dan 19.00 Wita. Menunya lebih layak dibanding di Lapas Kelas IIA Kendari.

“Makanannya layak, hanya nasinya kurang banyak, tidak bisa tambah,” keluh IN. Pukul 20.00 Wita adalah waktu istrahat jelang tidur. Biasanya anak binaan tidak langsung tidur. Ada yang membaca buku di kamar, belajar main gitar diam-diam. Saling curhat tentang rencana saat bebas nanti. Rata-rata rencana mereka sama, yakni ingin mencium kaki ibunya saat bebas nanti.

Waktunya Psikolog Turun Tangan
Awal tahun 2020, Ida Sriwaty Sunarjo, jadi saksi ahli dalam perkara hukum yang melibatkan perempuan, korban dugaan pelecehan seksual oleh seorang pejabat lokal. Menurutnya dalam Psikologi Forensik, kasus sexual harresment pada anak atau perempuan biasanya diawali dengan bentuk pembohongan situasi yang bersifat manipulatif. Hal ini dilakukan agar tindak pidana dianggap wajar dan diterima oleh korban.
Caranya macam-macam. Misalnya janji untuk dinikahi atau janji akan bertanggung jawab nanti. Padahal itu hanyalah bentuk pembohongan situasi.

Sementara bagi anak pelaku pelecehan seksual, menurutnya pemidanaannya harus ditujukan agar si anak menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi lagi dikemudian hari. Kekerasan fisik berupa pemukulan, menampar atau berbagai perploncoan tidak termasuk sebagai pembinaan khususnya bagi anak.

Sebagai Dosen di Prodi Psikologi Unhalu, akhir September 2019, Ida mengajak 45 mahasiswanya ke Lapas Kelas IIA Kendari untuk mengajarkan mata kuliah Psikologi-Perkembangan. Mahasiswa melakukan pendampingan/wawancara kepada napi anak-remaja. Menggunakan metode kualitatif dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi melalui observasi dan diskusi. Mahasiswanya memahami bahwa perkembangan para anak-remaja dalam Lapas/Rutan, dipengaruhi oleh perkembangan alam dan pola asuh yang ada.
“Anak-remaja dalam lapas adalah korban dari konflik yang sudah dialami sejak dari rumah, mulai dari orang tua yang cerai, komunikasi yang tertutup hingga pola asuh yang tidak memadai. Saya khawatir jika tidak didampingi psikisnya, sangat berpengaruh pada proses resiliensinya setelah bebas.” Kata Ida.

Sebagai psikologi klinis, Ida merasa terpanggil untuk terlibat dalam pembinaan psikis anak binaan di LPKA Kelas II Kendari. Menurutnya paradigma pembinaan bagi anak pidana harus bergeser bukan hanya fokus didalam lembaga, namun juga fokus diluar lembaga.

Dalam pandangannya sebagai subyek moral, ketika kasus pidana menimpa “X”, subyek moral sebagai orang lain “Y” tidak bisa lepas tangan terhadap kejadian tersebut, karena dapat menimpa dirinya juga. Masuknya faktor ketiga (institusi, lembaga negara) dalam urusan moral pembinaan, menjadikan perkara moral menjadi urusan sosial. Manusia melepaskan diri dari tanggung jawab yang sebenarnya. Subyektifitas moral sudah waktunya dikembalikan sebagai persoalan tanggung jawab kepada orang lain yang bersifat sepihak (asimetrik) dan resiprokal.
“Peran Bapas Kendari. Harus ditingkatkan. Minimal kompetensi beberapa PK Bapas bisa diajarkan dasar-dasar layanan psikologi kepada klien, sebelum ditangani profesional.” Katanya.
Pentingnya layanan dasar psikis anak binaan di LPKA juga dikatakan Nur Haerany Haeba, seorang psikolog anak di BP-PAUD dan Dikmas Sulawesi Tenggara. Menurutnya ditengah situasi pandemi COVID-19 terjadi berbagai pembatasan sosial. Anak-anak sangat rentan mengalami kebosanan dalam situasi ini.

“Dengan pembatasan sosial selama pandemi Covid-19, mereka mencari hal baru di media sosial, gadget, internet. Tanpa pengawasan dan bimbingan, hal itu sangat berbahaya.” Ungkapnya.

Sebagai lembaga pembinaan anak, diperlukan kerja-sama lintas sektor seperti psikolog, sosiolog, forensik dengan pihak LPKA Kelas II Kendari untuk memenuhi layanan mental/psikis anak binaan. Termasuk bagi anak asimilasi selama pandemi COVID-19. Layanan psikis bukan hanya kepada anak itu sendiri, namun juga termasuk orang tuanya.

“Kalau saya akan lakukan metode family therapy, karena itu background saya.” Katanya.
Berdasarkan pengalamannya, anak yang pernah terlibat tindak pidana asusila, dianggap dalam kondisi hibernasi. Hasrat, nafsu, dasarnya adalah alamiah, bahkan dalam diri anak masih bersifat primitif Tanpa didampingi orang tua, impuls seperti itu bisa meledak kapan, dimana saja dan anak-anak asimilasi bisa menjadi residivis.

Peran Pekerja Sosial Selama pandemi COVID-19. Anak dan perempuan termasuk kelompok rentan terkena dampak. Berdasarkan jumlah hasil respon kasus Satuan Bakti Pekeja Sosial Kementerian Sosial RI per Juni 2020, diketahui anak yang berhadapan dengan hukum (3.555 kasus), korban kejahatan seksual (1.433 kasus), korban perlakuan salah dan penelantaran (766 kasus), terdampak COVID-19 (636 kasus). Serta korban kekerasan fisik dan psikis (552 kasus). (Antaranews.com_2020).

Menurut Mas Abdi Yanto Nur, petugas Satuan Bakti pekerja Sosial (Sakti Peksos) Perlindungan Anak dari Kementerian Sosial di Kendari. Berdasarkan hasil assessment anak binaan di LPKA Kelas II Kendari per Agustus 2020, diketahui bahwa mereka rata-rata pelaku pidana berkaitan pasal 81, berumur berumur 14-16 tahun yang putus sekolah hingga yang tidak pernah sekolah. Mereka umumnya bukanlah anak yang terlantar meski ekonomi keluarga mereka berada pada level menengah kebawah. Kebanyakan mereka adalah anak-anak yang bekerja disektor perbengkelan, menjadi buruh bangunan atau mengikuti orang tua menjadi petani/pekebun.

Biasanya hasil identifikasi Peksos dituangkan dalam Rencana Intervensi yang direkomendasikan ke pihak LPKA Kelas II Kendari.

Sesuai pengalamannya dalam mendampingi anak-anak binaan dalam Lapas, ia menyadari pentingnya bimbingan psikis yang memadai, bagi anak-anak dalam Lapas/Rutan. Hal ini agar menghindari mereka kembali sebagai residivis.

“Ada anak yang sudah 4-5 kali keluar-masuk Lapas. Saya tahu itu, tapi saya tidak mau sebutkan namanya disini. Semua kenakalan sudah ia lakukan mulai dari berkaitan pasal 81, pasal 363 sampai pasal 365.” Katanya.
Lantas bagaimana peran Balai Pemasyakatan Kelas II Kendari (BAPAS) dalam melakukan pembinaan diluar lembaga terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, khususnya pada situasi pandemi COVID-19 Sultra?

Teguh Pratiknyo adalah Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pengawasan Kendari (PK BAPAS Kendari) yang melakukan pembimbingan terhadap klien pemasyarakatan (extramural treatment). Menurutnya bimbingan khususnya kepada anak asimilasi selama Pandemi COVID-19 sulit dilakukan karena berbagai pembatasan sosial.

Dalam kondisi normal tugas PK adalah melakukan peneltian kemasyarakatan (litmas) untuk keperluan penyidikan, penuntutan, dan persidangan dalam perkara anak. Litmas berisikan hasil penelitian mengenai identitas anak, kondisi sosial, psikologis dan ekonominya agar diketahui latar belakang anak. Hasil Litmas bersifat wajib dipertimbangankan dalam pemberian asimilasi-integrasi agar proses pembinaan dilakukan BAPAS secara continued di luar Lapas/LPKA.

Namun situasinya berbeda dengan asimilasi selama pandemi COVID-19, yang mana pemberian asimilasi hanya didasarkan masa pidana, yakni ketentuan napi yang 2/3 (dua per tiga) masa pidana hingga tanggal 31 Desember 2020 dan anak yang 1/2 (satu per dua) yang masa pidana jatuh tempo 31 Desember 2020. Akibatnya PK BAPAS tidak memiliki kesiapan yang memadai akan bimbingan anak asmimilasi model seperti itu. Mereka hanya bisa meregistrasi, mencari tahu keadaan dan kondisi mereka dan pemberlakuan wajib lapor.

“Anak langsung dapat asimilasi, meski tidak diketahui latar belakangnya apakah mereka masih punya orang tua? Masih punya rumah? Termasuk kondisi psikisnya bagaimana? Semua itu belum sempat diketahui. Tapi namanya perintah, mau diapa lagi,” Kata Teguh.
Menurutnya semua pihak yang terlibat dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) harus ada kesepahaman untuk mengedepankan “pendekatan sistem” pada pemenuhan hak anak. Dalam penelitian kemasyarakatan (litmas) didalamnya terdapat peneltian aspek psikologis anak yang bersifat metodologis. Artinya sebagai ilmu pengetahuan seharusnya terbuka bagi akademisi dan kalangan psikolog profesional untuk terlibat dalam pembinaaan anak pidana.
Kompetensi para PK BAPAS juga harus ditingkatkan meskipun dengan keterbatasan anggaran dan operasional. Beberapa PK Bapas dirasa kurang mampu untuk konseling-sharing, jadi hanya sebisanya saja dalam memberi layanan psikologis anak.

Berdasarkan data BAPAS Kendari selama Pandemi COVID-19 per Agustus 2020, terdapat 34 anak yang jadi binaan BAPAS di luar lembaga. Rata-rata mereka adalah anak-anak yang menjalani pidana selama 9 bulan hingga 4 tahun, dengan mayoritas perkara berkaitan pasal 81 UU Perlindungan Anak Hasil Pembinaan Negara.

“Hidup dibui menyiksa diri, bangun pagi makan nasi jagung”, sepenggal lirik lagu D’lloyd dinyanyikan ala akustik oleh IN (16 thn) dengan suara sumbang dari teras berlantai ubin depan rumahnya di Desa Laeya, Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara.
“Selama di LPKA, cuma tahu main gitar diajar BR,” Ucapnya.

Alat gitar sebenarnya dilarang dalam LPKA, tapi ada petugas jaga yang baik hati, mengizinkan dimasukkan. Biar tidak ketahuan petugas lain, gitar mereka sembunyikan dalam kamar mandi hunian. IN termasuk dari 34 anak binaan LPKA Kelas II Kendari yang dapat asimilasi selama pandemi COVID-19. Tidak semua teman sekamarnya di LPKA dapat asimalasi.
Saat meninggalkan LPKA, Semua pakaian, ia tinggalkan dalam kamar hunian, menyisakan baju dibadan dan beberapa plastik tupperware milik ibunya.

“Sengaja sa’ tinggalkan, biar bisa dipakai lagi sama teman-teman di LPKA.” Ucapnya.
Selain bermain gitar, berkat dampingan BAPAS Kendari, IN juga ikut balai pelatihan cukur rambut. Sudah banyak tetangga dan teman-temannya yang jadi pelanggan.
Sebagai sesama “teman seperjuangan”, IN masih ingat wajah teman-temannya di LPKA Kelas II Kendari. Untuk itu, dipergelangan kirinya ia tato bunga rose bertuliskan 2019, untuk mengenang masa lalunya.

Adaptasi Pandemi COVID-19 LPKA Kelas II KENDARI Nanga-nanga diresmikan Februari 2020. Berdiri diatas lahan sekitar 1,5 Ha dengan fasilitas pembinaan seperti rumah ibadah, ruang belajar, perpustakaan, serta 14 ruang hunian dan sebuah ruang isolasi mandiri.
Akbar Amnur bertugas sebagai Kepala LPKA Kelas II Kendari sejak Februari 2020, Dengan pengalaman delapan tahun sebelumnya tugas sebagai Ka. Rutan Kelas IIB Wonosobo.
“Semua sel maksimal terdiri 3 anak. Jika ada pelanggaran dari anak binaan, maka harus dibina-(sakan) baik-baik,” tegas Akbar. Merokok bagi anak pidana, termasuk kategori pelanggaran berat dan hukumannya harus membersihkan WC.

Untuk menghindari perasaan bosan atau jenuh, Anak-anak binaan biasanya main tenis-meja yang siapkan petugas. Sesekali mereka saling menyumpahi nenek moyang, menganggu pihak yang kalah saat main ping-pong.
Secara keseluruhan 62 anak binaan LPKA Kelas II Kendari, mayoritas berkaitan dengan kasus tindak pidana asusila. Sesuai UU Perlindungan Anak, pasal 81 ayat 1 (satu) dengan pidana penjara paling lama 15 tahun (lima belas) tahun dan paling singkat 3 tahun (tiga) tahun dengan denda maksimal Rp300 juta.
Tidak ada layanan kesehatan khusus psikis (konseling) di dalam LPKA. Yang ada, hanya ruang pemeriksaan kesehatan dengan jadwal rutin mulai dari pemantauan kebersihan dan pemeriksaan kesehatan anak binaan, pemantauan kebersihan blok dan pemeriksaan personal hygiene anak binaan dan penyuluhan kesehatan.

Selama pandemi COVID-19, anak binaan diberi suplemen multi-vitamin per minggu, penyemprotan disinfektan, hingga menyiapkan ruang isolasi khusus untuk wabah COVID-19.
Berasarkan data per Agustus 2020, LPKA Kelas II Kendari, masih terdapat 24 anak binaan. 4 anak statusnya masih dititipkan di Polres Kendari dan 34 anak yang mendapatkan asimilasi.
Selama pandemi COVID-19, LPKA Kelas II Kendari menerapkan standar layanan kesehatan bagi petugas medis, terdiri dari APD 3 set, masker N95, google (pelindung mata), gaun medis sintetis, sarung tangan lateks.
“Semua lengkap, hanya saja daerah sini susah air bersih!” Keluh Akbar Amnur.
Untuk pemenuhan kebutuhan air bersih, pihak LPKA mengandalkan air sumur bor yang ditampung kedalam 2 tandon ukuran 1200L. Namun karena salah menetukan sumber mata air, maka tandon lebih sering kosong isinya. Akibatnya anak binaan LPKA, rata-rata jarang mandi.

Kawasan Nanga-nanga Kecamatan Baruga Kendari adalah lokasi pembuangan yang jadi pemukiman para eks tapol gerakan 1965 silam. Hingga kini, area tersebut belum terdistribusi air PDAM secara memadai. Untuk listrik dari PLN, baru tersedia sekitar akhir tahun 2010-an. Bahkan hingga tahun 2019 lalu, terdapat beberapa warga Nanga-nanga yang belum bisa mengurusi penerbitan sertifikat tanah sendiri.

Penulis: Anakia

Kehidupan Hanya Sekotak Trauma Anak di Balik Jeruji BesiKota KendariLPKASultra