JAKARTA, LENTERASULTRA.COM– Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyerukan kapal-kapal China yang masih berada di perairan Laut Natuna agar segera hengkang.
Pemerintah Republik Rakyat China juga diminta menghentikan segala tindakan provokatif atas kedaulatan wilayah perairan Indonesia karena secara defacto dan deyure, Laut Natuna yang telah diakui dan ditetapkan oleh Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS).
Menurut Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj, Kepulauan Natuna masuk dalam 200 mil laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia yang telah diratifikasi sejak 1994.
Oleh sebab itu tindakan Coast Guard RRC mengawal kapal nelayan berbendera China di perairan Natuna sebagai bentuk provokasi politik yang tidak bisa diterima.
“Pemerintah China secara sepihak mengklaim berhak atas Kepulauan Nansha atau Spratly yang masuk dalam sembilan garis putus-putus pertama kali pada peta 1947. Klaim ini menjangkau area perairan seluas dua juta kilometer persegi di Laut Selatan China yang berjarak dua ribu kilometer dari daratan Tiongkok. Klaim sepihak ini menjadi pangkal sengketa puluhan tahun yang melibatkan sejumlah negara seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, Taiwan, dan Brunei Darussalam,” papar Said Aqil dalam keterangannya dikutip Asia Today.id yang diterima Selasa (07/01/2020).
Jauh sebelum Indonesia, Filipina sebelumnya telah memperkarakan China atas tindakannya yang agresif di perairan Laut China Selatan pada 2013 lalu.
Pengadilan Arbitrase PBB yang berpusat di Den Haag pada 2016 memutuskan seluruh klaim teritorial China atas Laut China Selatan tidak memiliki dasar hukum, termasuk konsep nine dash line dinyatakan bertentangan dengan Konvensi Laut PBB. Anehnya, Beijing menolak keputusan tersebut.
Said Aqil memandang, tindakan Beijing menolak keputusan tersebut, merupakan bentuk nyata pelanggaran terhadap norma dan konvensi internasional yang diakui secara sah oleh masyarakat dunia.
Karena itu, Nahdlatul Ulama mendukung sikap tegas Pemerintah RI terhadap China, dalam hal ini yang telah dilakukan oleh Menteri Luar Negeri dan Bakamla, termasuk untuk mengusir dan menenggelamkan kapal-kapal asing yang melakukan aktivitas illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) di seluruh perairan Indonesia sebagai manifestasi dari Archipelagic State Principle yang dimandatakan oleh Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957.
“Meskipun China merupakan investor terbesar ketiga di Indonesia, Nahdlatul Ulama meminta Pemerintah RI tidak lembek dan tidak menegosiasikan perihal kedaulatan teritorial dengan kepentingan ekonomi. Keutuhan dan kesatuan wilayah NKRI, di darat dan di laut, dan juga di udara adalah harga mati yang tidak bisa ditukar dengan kepentingan apa pun. Dalam jangka panjang, Nahdlatul Ulama meminta Pemerintah RI untuk mengarusutamakan fungsi laut dan maritim sebagai kekuatan ekonomi dan geopolitik,” jelas Aqil panjang lebar.
Said Aqil menegaskan, kedudukan laut sangat strategis sebagai basis pertahanan. Karena itu pulau-pulau perbatasan, termasuk yang rawan gejolak di Laut China Selatan, tidak boleh lagi disebut sebagai pulau terluar, tetapi terdepan.
Ketidaksungguhan Pemerintah dalam melaksanakan konsep pembangunan berparadigma maritim, termasuk dalam geopolitik, ekonomi, dan pertahanan, akan membuat Indonesia kehilangan 75 persen potensinya untuk maju dan sejahtera dan memimpin dunia sebagai bangsa bahari seperti amanat founding fathers.
“Dalam pandangan Nahdlatul Ulama sebagaimana dinyatakan oleh pendiri Nahdlatul Ulama Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, hukum membela keutuhan tanah air adalah fardhu ‘ain atau wajib bagi setiap orang Islam dan barang siapa mati demi tanah airnya, maka ia mati syahid,” tandasnya. (AT Network)