Pemerintah Indonesia Didesak Cabut Izin Smelter China

 

 

Aksi koalisi mahasiswa Indonesia di kantor KESDM. —ist—

JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Keputusan Pemerintah Indonesia mempercepat larangan ekspor nikel dari sebelumnya tahun 2022 menjadi 2020, terus mendapat perlawanan dari elemen mahasiswa yang terhimpun dalam Koalisi Mahasiswa Indonesia.

Pasalnya, kebijakan itu dinilai mematikan pelaku usaha pertambangan dalam negeri dan justru memakmurkan pelaku usaha asing, khususnya investor China yang menguasai industri smelter

“Kami menuntut pemerintah untuk segera mencabut Permen ESDM No. 11 tahun 2019. Peraturan ini kami anggap tidak melindungi pelaku usaha pertambangan dalam negeri dan justru lebih memihak investor asing. Kami mendesak pemerintah segera mencabut izin investasi smelter China,” tegas
Dony Manurung, dalam keterangannya dikutip Asia Today. id, Rabu (25/12/2019).

Pekan lalu, tepatnya Kamis (19/12/2019), Dony bersama ribuan mahasiswa lainnya, berunjukrasa di kantor kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan kantor Kemenko Maritim dan Investasi. Dalam aksinya, mereka menyampaikan tuntutan tersebut.

Menurut Dony Manurung, selain membuat penambang dalam negeri terancam gulung tikar, kebijakan larangan ekspor nikel ini juga berpotensi melanggengkan praktek kartel/mafia dalam proses tata niaga nikel di Indonesia.

Pelarangan ekspor bijih nikel ini kata Dony, akan membuat 26 smelter nasional yang sedang dalam proses pembangunan terlantar, karena hingga saat ini pemerintah seperti menutup mata.

”Permen ESDM No. 11 tahun 2019 salah satu isinya itu kan melarang ekspor bijih nikel kadar rendah, yakni dibawah 1.7 persen, sedangkan 26 smelter lokal yang sedang dibangun saat ini hanya berharap dapat mengumpulkan anggaran dari hasil penjualan nikel kadar rendah tersebut. Kalau sekarang dilarang mau dikemanakan nasib pengusaha lokal kita? Pemerintah suruh olah sendiri, tapi pemerintah sendiri sampai saat ini belum ada perhatiannya terhadap nasib penambang dan smelter lokal,” bebernya.

“Pemerintah jangan hanya pro investor asing, tapi pengusaha lokal yang sedang berjuang membangun smelter juga harus segera diselamatkan,” tandasnya.

Dony membeberkan, smelter China yang ada di Indonesia diduga melakukan praktek niaga nikel yang tidak benar, seperti Virtue Dragon di Konawe dan Tsingshan di Morowali. Permainan itu dilakukan oleh surveyor asing yang ditunjuk oleh kedua smelter tersebut, yakni PT. Intertek.

“Banyak laporan di lapangan bahwa ada permainan pengaturan kadar bijih nikel oleh dua smelter asing dari Tiongkok ini. Kebanyakan penambang yang menjual bijih nikelnya kepada dua smelter asing ini sering kali ditolak dengan alasan kadar nikelnya tidak memenuhi standar, padahal awalnya para penambang sudah mengukur kadarnya dan dinyatakan memenuhi syarat, tapi ketika melewati lab surveyor PT. Intertek yang dipakai oleh Virtue Dragon dan Tsingshan kadarnya malah menjadi rendah. Karena itu, kita menuntut pemerintah Indonesia segera mencabut izin smelter dan surveyor asing yang mempermainkan perdagangan nikel dan merugikan penambang dalam negeri,” tegas Dony.

Sementara itu, Presidium Koalisi Mahasiswa Peduli Bangsa Rahmat Pakaya, menyoroti perihal harga nikel yang disepakati oleh kepala BKPM Bahlil Lahadalia dengan penambang dan industri smelter.

Menurut Rahmat, harga yang diklaim sebagai harga kesepakatan antara BKPM dan para pengusaha nikel tersebut secara terang-terangan menabrak aturan pemerintah.

“Ini kan aneh, padahal pemerintah sudah mengeluarkan peraturan soal harga patokan mineral (HPM) bijih nikel yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 Pasal 85, kok ini ada yang bikin-bikin harga baru lagi? Permainan apa lagi ini?” tandas Rahmat.

Sebelumnya, Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengumumkan percepatan larangan ekspor bijih nikel akan mulai berlaku sejak Selasa, 29 Oktober 2019. Percepatan tersebut, kata Bahlil, merupakan kesepakatan yang terbentuk dari pertemuan antara dirinya bersama pengusaha nikel Indonesia.

Adapun revisi teranyar Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 tahun 2019 mengamanatkan batas waktu terakhir untuk ekspor bijih nikel yakni akhir Desember 2019. Artinya pada awal Januari 2020 para pengusaha dilarang untuk mengekspor.

Aturan ini merupakan perubahan dari aturan sebelumnya yang mengamanatkan larangan ekspor baru akan berlaku pada awal Januari 2022.

“Hari ini secara formal kesepakatan bersama antara asosiasi dan pemerintah terkait ekspor ore yang harusnya selesai di 2020, enggak lagi lakukan ekspor,” terangnya.

“Ini hari terakhir, jadi nanti mereka (para pengusaha) pulang minta kapal (pengangkut ekspor) mereka enggak usah berangkat,” kata Bahlil di kantor BKPM, Jakarta Selatan, Senin, 28 Oktober 2019.

Bahlil mengatakan kesepakatan tersebut dibuat tanpa harus mengubah kembali aturan yang berlaku saat ini. Dia mengatakan tujuannya tidak lain yakni untuk membuat Indonesia menjadi negara yang lebih berdaulat guna mengelola hasil-hasil buminya demi mendapatkan nilai tambah.

“Kita tidak mengubah aturan. Ini atas dasar kesadaran sesama anak bangsa. Kalau kita ekspor ore negara rugi terus. Kemudian dengan dilarang ada nilai tambah,” tandasnya.

Kemudian pada Selasa sore (12/11/2019), Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) bersama pengusaha smelter dan pengusaha tambang nikel Indonesia kembali menyatakan kesepakatan bersama untuk menghentikan ekspor ore nikel.

Kesepakatan ini lahir dari pertemuan yang dipimpin Kepala BKPM Bahlil Lahadalia bersama 47 perusahaan smelter dan perusahaan tambang nikel yang tergabung dalam Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (APNI) dan Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) di kantor BKPM Jakarta, Selasa sore (12/11/2019).

Bahlil menekankan bahwa, sikap ini adalah komitmen anak bangsa atas dasar rasa ‘cinta tanah air’.

“Bersama-sama kita akan dukung program Pemerintah dalam hilirisasi industri. Perusahaan nikel tidak akan melakukan ekspor, maka ore-nya akan dibeli oleh perusahaan smelter. Harga ore dengan kadar dibawah 1,7 yang akan terima oleh perusahaan smelter maksimal US$ 30 per metrik ton,” terang Bahlil dalam keterangan tertulisnya.

Menurut Bahlil, harga tersebut sudah melalui perhitungan yakni harga internasional dikurang biaya pengapalan (transhipment) dan pajak dengan minimum harga USD27 per metrik ton dan maksimal USD30 per metrik ton. Harga tersebut berlaku hingga 31 Desember 2019.

“Hitunganya kurang lebih sekitar USD30 per metrik ton, dan itu semua sepakat,” jelas Bahlil.

Bahlil menjelaskan, dari 37 pengusaha nikel yang memiliki izin ekspor, pemerintah telah mengevaluasi sebelas perusahaan dan yang berhak melakukan ekspor nikel sampai saat ini sembilan perusahaan, sementara dua perusahaan lainnya masih dalam proses.

Artinya ada 26 perusahaan yang belum mendapatkan kepastian ekspor. Menurut Bahlil, perusahaan-perusahaan yang belum mendapatkan kepastian ekspor tersebut berpeluang menjual nikel ke perusahaan smelter dengan harga yang telah disepakati.

“Sedangkan sisanya 26 perusahaan saya anggap hanya mau diserap dalam negeri karena belum konfirmasi ke saya,” ujarnya.

Hilirisasi

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengingatkan pentingnya hilirisasi untuk mempersempit defisit neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan.

Hal tersebut disampaikan Jokowi di depan para pengusaha pertambangan dalam Indonesian Mining Association Award 2019 di Ritz Carlton, Jakarta, Rabu (20/11/2019).

“Saya mengajak kita semua untuk memulai memproses barang tambang kita ini menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, sehingga negara kita memiliki nilai tambah dan multiplier effect yang besar,” katanya.

Bahkan, dia menyebut sempat membuat sebuah skenario jika hilirisasi industri nikel bisa terjadi sepenuhnya, maka persoalan defisit neraca transaksi perdagangan dan neraca transaksi berjalan bisa selesai dalam kurun waktu tiga tahun.

“Itu hanya satu komoditas. Kita baru berbicara satu komoditas yang namanya nikel, belum berbicara masalah timah, belum berbicara masalah batubara, belum berbicara masalah copper. Banyak sekali yang bisa kita lakukan dari sana,” jelasnya.

Proses hilirisasi menurutnya membuat barang tambang yang semula hanya dijual sebagai barang mentah bisa memiliki nilai tambah lebih besar karena melalui proses industrilisasi menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.

Jika persoalan defisit neraca perdagangan dan defisit neraca transaksi berjalan tidak lagi menghantui Indonesia, Jokowi menyebut Indonesia tidak perlu takut lagi dengan pergerakan dolar.

“Dan, perlu saya sampaikan bahwa UU Minerba kita juga mengamanatkan ke sana sampai 2017, seingat saya. Tapi ada relaksasi menjadi tahun 2022. Jangan dipikir saya tidak mengerti,” tambahnya. (AT Network)

Smelter