KENDARI, LENTERASULTRA.COM – Ketua Lembaga Perlindungan Konsumen (LPK) Sulawesi Tenggara (Sultra), Sulaeman dilaporkan ke Polda Sultra. Ini diketahui setelah ia menerima surat panggilan untuk permintaan keterangan.
Menurutnya, ia dilaporkan oleh Oknum Pegawai BRI Cabang Samratulangi Kendari, Sulu Paladu karena cuitannya di akun media sosial beberapa waktu lalu. Adapun cuitan yang dimaksud terkait dengan transaksi jual beli satu unit ruko dua lantai di Jalan Hea Mokodompit, depan Kampus Universitas Halu Oleo Kendari, Kelurahan Lalolara, Kecamatan Kambu.
Menurut Sulaeman, ada upaya dugaan penipuan yang dilakukan oleh Sulu Paladu yang diketahui merupakan Asisten Manejer Bidang Mikro, BRI Samratulangi Kendari. Dugaan penipuan yang dimaksud adalah berupa penguasaan sebilah ruko bersama tanah tanpa menyelesaikan pelunasan sesuai kesepakatan harga dengan nominal Rp 1,2 miliar.
Kisahnya, pada tahun 2013 lalu Sulu Paladu membeli ruko milik Sulaeman. Caranya dengan melunasi kredit dengan agunan no 00774 yang diagunkan ke BRI Cabang Bypass Kendari. Nominalnya sebesar 530.724.855.
“Uang sebanyak Rp 530 juta lebih itu dia lunasi kredit kami, tapi masih ada sisanya Rp 670 juta, malah dia (Sulu Paladu) tidak bayar dan ingin menguasai ruko kami, dia berdalih kalau pembelian itu sudah lunas,” tutur Sulaeman kepada wartawan saat menggelar konfrensi pers di kediamannya di Jln HEA Mokodompit No. 60, Kendari (22/7/2019).
Tanpa diketahui oleh Sulaeman sebagai pemilik sah sertifikat yang diagunkan, Sulu kemudian melakukan pelunasan dan mengambil sertifikat di BRI Cabang Bypass Kendari lalu menerbitkan Akta Jual Beli (AJP) dengan melibatkan salah satu notaris di Kendari.
“Kami tidak diberitahu oleh pihak BRI kalau ada pelunasan kredit kami, dan kami juga tidak pernah memberi kuasa terkait pelunasannya,” tambahnya.
Sulaeman mengakui pernah menandatangani sebuah surat Akta Jual Beli (AJB) bersama bukti pelunasan kredit yang copyannya diberikan oleh pihak BRI Cabang Bypas Kendari pada 27 November 2018. Namun, ia menuding hal tersebut penuh rekayasa.
“Ini penuh rekayasa, kenapa AJB dan bukti pelunasan tahun 2013, diberikan kepada kami tahun 2018,” ungkapnya.
AJB itu diterbitkan Kamis 21 Maret 2013, sedangkan bukti pelunasan bank tertulis pada tanggal 26 Maret 2018. Sesuai mekanisme hukum Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, tidak boleh ada AJB sebelum transaksi pelunasan.
“Inikan aneh, masa pelunasan 26 Maret, AJB terbit 21 Maret. Lima hari sebelum dibayarkan pelunasan di bank, Akta Jual Beli terbit duluan,” urainya.
Masih Sulaeman, seharusnya yang terbit itu adalah Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) untuk kesepakatan penjual untuk mengikatkan diri akan menjual kepada pembeli dengan disertai pemberian tanda jadi atau uang muka berdasarkan kesepakatan.
Umumnya PPJB dibuat di bawah tangan karena suatu sebab tertentu seperti pembayaran harga belum lunas. Di dalam PPJB memuat perjanjian-perjanjian, seperti besarnya harga, kapan waktu pelunasan dan dibuatnya AJB.
“Karena belum lunas, yang mereka lakukan sudah jelas maladministrasi. Melanggar ketentuan hukum, kami tegaskan akan menuntut,” tukasnya.