KENDARI, LENTERASULTRA.COM – Pemerintah Kota Kendari sepertinya begitu getol membangun infrastruktur, akibatnya berbagai cara dilakukan untuk meningkatlan Pendapatan Asli Daerah. (PAD).
Pemkot Kendari mau mengejar ketertinggalan pembangunan dengan kota-kota lain di Indonesia. Minimal Kota Kendari bisa menjadi “juara” di Indonesia Timur sebagai kota yang berkembang.
Sebagai Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Kendari harus menampakan “wajah” yang ramah bagi penduduknya maupun kepada para investor yang menanamkan modalnya.
Berbagai program yang diimplementasikan, diharapkan mampu merubah wajah Kota Kendari dan mensejahterakan masyarakat. Namun sangat disayangkan terkadang Pemkot “kehabisan” stok ide yang kreatif untuk melakukan ekspansi pembangunan.
Salah satu sumber pemasukan pemkot untuk menggerakan roda pembangunan di Kota Kendari berasal dari pajak, retribusi masyarakat serta kontribusi pembangunan dari pihak swasta.
Mengejar PAD yang jumbo, biasanya memaksa birokrat untuk memutar otak agar sesuai dengan target capaian sehingga dalam konteks tertentu birokrat mengambil jalan “pintas” untuk mengejar “setoran” kas Pemkot.
Terkait dengan itu berbagai kebijakan yang “meneror” warga Kota Kendari menjadi perbincangan publik. Misalnya saja salah satu statement yang dilontarkan Kadis Pendapatan Kota Kendari “Bila warga tidak membayar Pajak Bumi dan Bangunan, akan disita tanahnya”.
Kebijakan yang akan ditempuh pemkot tersebut mendapat kecaman warga dari berbagai kelas sosial, di media sosial, misalnya hal ini menjadi “Dagelan” para netizen dan penulis menyimpulkan penolalan warga melalui medsos begitu “Heroik”.
Pertanyaannya, lantas mengapa pemkot akan menempuh kebijakan “horor” tersebut?
Pertama, mengejar setoran pendapatan PAD dengan dalih untuk meningkatkan PAD, biasanya pemerintah daerah/Pemkot kebijakan yang “haram” pun dilakukan. Padahal masih banyak sektor lain yang bisa diberdayakan untuk menggali sumber PAD.
Kedua, minim inovasi. Harusnya Pemkot Kendari, kreatif melihat potensi penerimaan lain sehingga PBB bukan satu satunya cara untuk “mendongkrak” PAD. Birokrat yang inovatif harusnya merancang kebijakan-kebijakan alternatif yang tidak “meneror” warga Kota Kendari. Namun dengan kejadian ini menggambarkan kalau Pemkot Kendari kekurangan “stok” birokrat birokrat yang mumpuni dan visioner.
Ketiga, modus baru mengusir warga miskin. Sepertinya pemerintah kota kendari mau “mengusir” kaum miskin kota. Bila warga miskin tidak mampu membayar PBB tanahnya akan disita, Pemkot maka secara perlahan-lahan kaum “miskin” harus meningglkan kota Kendari dan inilah salah satu cara “halus” untuk mengusir warga dari Kota Kendari.
Kebijakan ini tentu saja tidak humanis dan bertentangan dengan slogan Kota Kendari sebagai “Kota Bertakwa” karena salah satu ketakwaan kota bagi penulis adalah memberi kesempatan hidup bagi kaum miskin.
Dengan adanya penolakan warga Kota Kendari terkait penyitaan tanah yang menunggak PBB harus dikaji ulang. Bila kebijakan ini dipaksakan, penulis yakin akan terjadi perlawanan rakyat Kota secara massal.
Pemerintah Kota harusnya mau duduk bersama masyarakat untuk merumuskan kebijakan kebijakan alternatif yang bisa memacu pembangunan Kota Kendari. Namun selama ini pemkot enggan untuk melibatkan masyarakat, padahal masyarakat Kota Kendari terdiri dari berbagai profesi yang tentu saja ada segudang ide dari masyarakat yang akan disampaikan, bila saja warga dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan.
Kebijakan publik tidak elok diberlakukan bilah hasilnya menyengsarakan rakyat, bangunlah kota kendari dengan humanis bukan dengan cara cara “agresi” yang mengakibatkan masyarakat menderita lahir dan bathin dan semoga Pemkot cepat insaf dengan kebijakan tersebut.