KENDARI, LENTERASULTRA.COM-Anggota panitia Khusus (Pansus) Pertambangan Dewan Perwakilan Rakayat Daerah (DPRD) dan selaku Komisi III DPRD Sulawesi Tenggra (Sultra), La Ode Mutanafas mengatakan bahwasannya pihaknya telah melakukun kunjungan kerja di lokasi IUP Batu PT Babarina Putra Sulung. Dalam kunjungan tersebut, ditemukan beberapa hal yang secara mekanisme dan perundang-undangan tidak dibenarkan didalam aktivitas pertambanga.
Anggota Pansus Sultra, La Ode Mutanafas, membeberkan, salah satu yang menjadi temuannya adalah terkait izin terminal khusus. Dimana izin dari terminal khusus itu belum terbit, termasuk rekomendasi gubernur terhadap persiapan terminal khusus tersebut belum ada.
“Yang menjadi masalah ketika sudah berproduksi, jadi proses penjualannya itu lewat mana. Kemudian yang kita tanyakan lansung, lewat KTT PT Babarina Putra Sulung, lokasi yang mereka dialamatkan masuk dalam wilayah HPT diakui oleh KTT PT Babarina Putra Sulung, malah penyampaian mereka itu tidak disengaja masuk kurang lebih satu hektar,” papar Mutanafas kepada awak media.
Jika bicara dari sisi UU apapun, lanjutnya, harusnya ada pencegahan dini, tidak bisa kemudian disampaikan tidak sengaja, lalu terjadi penambangan yang seluas itu. “Saya tidak yakain penambangan sebesar satu hektar itu, pasti lebih dari satu hektar. Makanya dalam hal ini, kita minta dari pada dinas terkait bagaimana hasil kajian mereka. Sehingga itu menjadi bahan pembanding kita dalam rapat pendapat nanti dengan PT Babarina Putra Sulung,” ucapnya.
Bukan hanya itu, katanya, ada juga persoalan beberapa Stok Ore yang tertimbun. Pihaknya sempat mempertanyakan namun menurut pengakuan PT Babarina, itu bukan milik mereka. “Oke kami sudah punya gambar dan kami tau posisinya ada dimana. Sewaktu-waktu bisa kami tinjau kembali dan kami punya informasi dan data juga yang menyebutkan bahwa beberapa kali PT Babarina ini justru melakukan pemuatan Ore,” tegas anggota Pansus Sultra itu.
Dirinya menduga bahwa memang izin batu itu hanya sebagai bentuk untuk mengalihkan konsentrasi saja. Sekarang RKAB izin batu meraka untuk melakukan produksi sudah keluar sejak Maret, dengan kapasitas yang diizinkan untuk memuat batu oleh Dinas ESDM sebesar 45000 ton. Dengan luasan garapan dua hektar.
“Nah itu hasil diskusi kami dengan pihak KKT, PT BPS. Kalau kita lihat dari sisi bisnis, kemudian sangat tidak mungkin biayanya yang begitu besar yang mereka keluarkan tetapi dari sisi efek pleyar dari sisi keuntungan mereka belum ada sampai saat ini,” beber Mutanafas.
Jika memang belum ada penjualan, kemudian di tahun depan mereka mengajukan kembali RKAB, pertanyaannya kenapa kemudian Dinas ESDM memebiarkan ini terjadi. “Sementra kita telah ketahui bersama bahwa ketika itu RKAB disetujui, mereka harusnya melakukan peninjauan lapangan dengan baik. Bahwa ini sudah berfungsi baik yang dimanfaatkan sesuai dengan izin itu. Tetapi sampai saat ini kami melihat hanya sebuah pelarian dan sebagai moduslah bahasa kerennya begitu. Namun tidak ada kegiatan batu untuk dikirim kemana-kemana itu. Aalasan mereka untuk pembuatan kreser,” katanya.
Bahkan pihaknya sempat mempertanyakan batunya itu dibawa kemana saja. Sebab samapai saat ini belum melakukan penjualan. “Yang kita tau itu bawa Ore, tapi kita belum bisa pansung mengatakan itu. Ini beru praduga nanti kita akan melakukan dengar pendapat, supaya kemudian semua bisa selesai. Kerja-kerja ini bisa tertip, dan surat dari Dinas ESDM per Oktober 2018, perihal pemberhentian sementara aktivitas PT Babarina. Dimana didalam isi surat itu telah kami pelajari dan tidak ada hal-hal yang kita anggap sangat serius untuk melakukan penindakan,” tuturnya.
Ia menegaskan, jika pihaknya kembali lantas ada pengakuan dari KTT mengakuai bahwa mereka masuk di wilayah HPT dengan tidak sengaja, perku diketahui dalam UU tidak ada istilah tidak sengaja. Sepanjang masuk dalam lokasih HPT itu sudah bisa dipidana. (Pebry)