KENDARI,LENTERASULTRA.COM-Akhir-akhir ini, masyarakat dibuat panik dengan naiknya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) yang mencapai Rp 15.000 per 1 dollar AS. Banyak faktor yang menyebabkan nilai tukar rupiah terus melemah belakangan ini. Namun pelemahan rupiah terhadap dolar AS itu bisa diatasi dengan dua hal, yakni meningkatkan ekspor dan mengurangi impor.
Hal itu seperti yang dikemukakan Kepala Perwakilan Bank Indonesia Sulawesi Tenggara (Sultra), Minot Purwahono dalam konfrence persnya, Kamis (6/9).
“Melemahnya rupiah saat ini dapat diatasi dengan peningkatan ekspor dan mengurangi impor. Ada dua faktor yang menyebabkan masalah ini terjadi antara lain faktor eksternal dan internal,” ungkap Minot kepada awak media.
Faktor eksternal disebabkan oleh nilai tukar dollar yang melonjak tinggi. Sedangkan faktor internal disebabkan pertumbuhan ekspor yang lambat dan sangat jauh di bawah impor.
Minot membeberkan, ekonomi Indonesia sedang menghadapi masalah defisit transaksi berjalan atau Current Acount Defisit (CAD) yang semakin memburuk.
“Current Acount Defisit (CAD) kita saat ini sudah mencapai tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB),” jelas Minot di kantor pusat BI Sultra, Kamis, (6/9/2018).
Data BI menunjukkan defisit transaksi berjalan pada kuartal kedua 2018 tercatat mencapai delapan milliar USD. Hal ini kata Minot, menyebabkan Indonesia terkena dampak melemahnya harga rupiah terhadap mata uang dollar.
Meskipun nilai tukar rupiah melemah sampai Rp15 ribu per dollar AS. Namun ekonomi saat ini juga memiliki kabar baik yaitu membaiknya iklim investasi. Namun kondisi ini tidak ditopang dengan membaiknya ekspor Indonesia.
“Jadi kita sebagai masyarakat haruslah saling bahu membahu dalam membantu pemerintah untuk menggenjot ekspor dengan mencintai produk lokal dan terus mengembangkan hasil karya yang dimiliki anak bangsa,” ucapnya.
Ia menambahkan, kondisi lambatnya pertumbuhan ekspor dalam negeri menyebabkan tekanan relatif tinggi, kondisi ini yang menyebabkan Indonesia tidak setangguh negara tetangga di saat ekonomi sedang bergejolak. (Febry)