Jakarta, Lenterasultra.com-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka peluang menerbitkan sprindik (surat perintah penyidikan) baru dalam kasus suap yang membelit Walikota Kendari non-aktif Adriatma Dwi Putra (ADP) dan ayahnya Asrun. Hal tersebut dikatakan Jaksa KPK Ali Fikri kepada Lenterasultra.com usai sidang.
“Kalau secara teorinya bisa disidik baru untuk pengadaannya. Karena kalau yang sekarang kami tangani inikan suapnya,” tuturnya di Jakarta, Rabu, (8/8). Peluang penerbitan sprindik baru itu, didasari dari banyaknya fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Salah satunya adalah soal kebenaran adanya penerimaan uang lain yang diduga diterima oleh Asrun, ADP, dan Fatmawaty Faqih.
Penerimaan uang itu totalnya mencapai Rp 9,5 miliar. Rinciannya Rp 5,5 miliar pada tahun 2017 dan Rp 4 miliar pada tahun 2018. Uang tersebut seluruhnya dititipkan ke Bos PT Sarana Bangun Nusantara (SBN), Hasmun Hamzah.
“Dari total kurang lebih Rp 9,5 miliar itu yang baru ketahuankan penerimaan yang Rp 3 miliar pada tahun 2017 dan penerimaan Rp 4 miliar pada tahun 2018,” katanya. Rinciannya uang Rp 3 miliar pada tahun 2017 didapatkan dari Abdal. Pemilik nama lengkap Muhammad Zulfikar Ali itu saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat memang membenarkan bahwa ia pernah mendapatkan proyek di Pemkot Kendari senilai Rp 39 miliar. Proyek tersebut didapatkannya dari PT Kendari Siu Siu. Perusahaan tersebut diketahui merupakan milik Ivan Santri Jaya yang tidak lain merupakan teman dekatnya ADP.
“Sedangkan untuk penerimaan sebanyak Rp 4 miliar itukan sudah diketahui dari Laode Marvin untuk beli kaos kampanyenya Asrun. Namun Marvin dapat darimana uang tersebut, kita gali lagi di sidang berikutnya,” jelasnya. Menurut Ali Fikri, melihat dari pola penerimaan yang ada yaitu berkaitan dengan sejumlah proyek, pengembangan bisa dilakukan ke arah pengadaan. Dengan kata lain bisa saja diterapkan Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-undang tindak pidana korupsi (Tipikor).
“Karena seperti yang saya katakan di sidang tadi, si Abdal inikan dapat proyek Rp 39 miliar kemudian dibuang uang Rp 3 miliar, keuntungan perusahaan dari proyek tersebut katakanlah sekian miliar. Nah karena ada indikasi Abdal mengerjakan proyek tersebut dan uangnya untuk suap Rp 3 miliar, berartikan pekerjaannya tidak sesuai spek dong,” terangnya.
Sementara itu, saat disinggung siapakah yang harus dimintai pertanggungjawaban jika nantinya KPK memutuskan untuk melakukan pengembangan ke arah itu? “Nanti kita lihat putusan sidang ini dulu seperti apa. Setelah itu baru kita carikan nanti siapa yang haru dimintai pertanggungjawaban. Apalagi itu ranahnyakan di penyelidikan. Kitakan belum tahu siapa yang bertanggungjawab akan hal ini sebelum nantinya ditemukan bukti permulaan yang cukup. Kalau sekarang kumpulkan fakta-faktanya dulu dan data yang ada,” tuntasnya. (rere)