LENTERASULTRA.com-Menjelang kontestasi politik pemilihan kepala daerah di Indonesia, beberapa lembaga survei sudah mulai unjuk diri. Masing-masing berusaha menunjukkan kredibilitas sebagai lembaga profesional yang objektif. Di Sultra, berdasarkan data yang tercatat di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Tenggara (Sultra), hanya 5 (lima) lembaga survei terakreditasi dan terdaftar.
Ketua KPU Sultra, La Ode Abdul Natsir mengatakan, pihaknya sudah menyampaikan surat resmi kepada lembaga survei yang terakreditasi terkait hal-hal yang menjadi hak dan kewajibannya termasuk sanksi.
Lima lembaga survei dimaksud yakni Indo Barometer yang diketuai Muhammad Qodari, The Halu Oleo Institute, ketua Naslim Sarlito Alimin, Jaringan Suara Indonesia (JSI) ketua Fajar S. Tamin, Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) diketuai Djayadi Hanan dan Indikator Politik Indonesia dipimpin Burhanuddin Muhtadi.
“Adapun pokok-pokok penyampaian kami adalah survei atau jajak pendapat dan penghitungan cepat hasil pemilihan dilakukan oleh lembaga yang telah terdaftar di KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota,” jelasnya.
Lanjut dia, pendaftaran lembaga survei atau jajak pendapat dan penghitungan tersebut dilakukan dengan dua ketentuan. Pertama survei atau jajak pendapat dan penghitungan cepat lintas daerah kabupaten/kota dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur di KPU Provinsi.
“Sedangkan yang kedua survei atau jajak pendapat dan penghitungan cepat dalam pemilihan bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota di KPU kabupaten/kota,” ucapnya.
Odjo sapaan akrab La Ode Abdul Natsir menambahkan, pengumuman hasil survei atau jajak pendapat dan penghitungan dilakukan dengan memberitahukan sumber dana, metodologi yang digunakan, jumlah responden, tanggal pelaksanaan survei, cakupan pelaksanaan survei dan pernyataan bahwa hasil tersebut bukan merupakan hasil resmi penyelenggara pemilihan.
“Pelaksana survei atau jajak pendapat dan pelaksana penghitungan, dalam mengumumkan dan menyebarluaskan hasilnya wajib memberitahukan bahwa hasil penghitungan cepat yang dilakukannya bukan merupakan hasil resmi penyelenggara pemilihan,” tegas Odjo.
Untuk itu tambahnya, pelaksana survei wajib menyampaikan laporan hasil kepada KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota tempat pelaksana survei atau jajak pendapat dan pelaksana penghitungan cepat hasil pemilihan terdaftar paling lambat 15 hari setelah pengumuman hasil survei.
Selain itu, pelaksana survei juga wajib menyampaikan salinan hasil survei atau jajak pendapat dan hasil penghitungan cepat kepada KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota. Jika ada pengaduan masyarakat terhadap pelaksanaan survei tersebut, maka dapat disampaikan kepada KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota dengan menyertakan identitas pelapor.
“Dalam menindaklanjuti pengaduan masyarakat, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota dapat membentuk Dewan Etik atau menyerahkan pengaduan tersebut kepada asosiasi lembaga survei atau jajak pendapat untuk mendapatkan penilaian dugaan pelanggaran etika yang dilakukan oleh pelaksana survei,” katanya.
KPU provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota kata Odjo, dapat memberikan sanksi kepada pelaksana survei atau jajak pendapat dan pelaksana penghitungan cepat hasil pemilihan, jika terbukti melakukan pelanggaran etika. “Sanksi dapat berbentuk pernyataan tidak kredibel, peringatan atau larangan melakukan kegiatan survei atau jajak pendapat atau penghitungan cepat hasil pemilihan,” tutur Odjo.
Dia menegaskan, terkait adanya publikasi hasil survei dari lembaga, misalnya yang belum terakreditasi di KPU berpotensi melanggar ketentuan pasal 48, 49 PKPU 8/2017. Jika ada pengaduan masyarakat dapat diproses berdasarkan ketentuan pasal 50 PKPU 8/2017. (Isma)