LENTERASULTRA.com-Ada kebanggan besar di hati Sibbly tiap kali melihat anak-anak Suku Bajo Sampela di Desa Sama Bahari, Kaledupa di Wakatobi yang makin hari makin banyak yang tertarik untuk menuntut ilmu. Senyum di bibir uzurnya selalu tersungging.
“Laut terlalu memanjakan mereka sehingga menganggap pendidikan itu bukan sesuatu yang penting,” kata lelaki berusia 69 tahun ini mengilustrasikan kehidupan masyarakat Bajo, yang seringkali abai terhadap pentingnya belajar.
Sibbly, 13 tahun lalu hanyalah seorang seorang aparatur sipil negara yang menutup pengabdiannya tahun 2004. Usianya kala itu baru 56 tahun. Lelaki ini merasa, ia masih cukup produktif untuk memberikan darma bagi daerah dan bangsanya. Ia lantas memilih pendidikan, sebagai ladang amal jariyah.
“Saya prihatin dengan kondisi anak-anak Bajo yang banyak sekali tak sekolah kala itu,” kenang Sibbly dengan apa yang terjadi 13 tahun silam di kampungnya. Ia pun menggagas untuk mendirikan sekolah setingkat SD bernama Madratsah Ibtidaiyah Swastas (MIS) Hubbul Watha.
Sibbly tergolong nekat. Mengurusi sekolah tentu bukan perkara mudah karena harus punya banyak modal. Membayar pengajar, membeli alat sekolah. Ia hanya sedikit terbantu karena Yayasan Sama Bajo mau meminjaminya gedung untuk dijadikan tempat belajar.
“Saya pakai uang pensiunku untuk bayar orang mengajar,” kata Sibbly. Saat pertama membuka sekolah tahun 2004 lalu, ada empat orang jebolan Tsanawiyah yang kebetulan berasal dari Suku Bajo yang diangkatnya jadi guru, dengan status honorer tentu saja.
Saban bulan, duit pensiun yang tak sampai Rp 2 juta itu ia bagi sebaik mungkin. Ada untuk kebutuhan rumah tangganya, dan sisanya untuk bayar honor pengajar. “Saya kasih Rp 150 ribu satu orang. Semampu sayalah asal anak-anak itu bisa terus belajar,” kata lelaki itu.
Diawal sekolah itu berdiri, ia sudah bisa meyakinkan 43 anak untuk belajar di MIS yang dirintisnya. Perlahan, sekolah itu terus mendapat kepercayaan warga, bahkan pemerintah. “Sekarang sudah 142 orang yang belajar,” bangga Siblly.
Sekarang, usahanya sudah memberi harapan besar untuk terus bertahan. Pemerintah akhirnya memberinya bantuan dalam bentuk anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Sejak 2007, ia merkrut tenaga pengajar tambahan. “11 orang. 12 dengan saya ini. Ada juga tamatan dari SMA, Depertan Agamanya tiga orang,” katanya.
Ia mengaku, tenaga pengajar yang ia rekrut dari daratan Kaledupa, seringkali masih harus dijemput dengan perahu. Bahkan urusan antar pulang pun terpaksa ia lakukan, demi terus tumbuhnya semangat belajar bagi anak-anak Kaledupa, khususnya mereka yang dari Suku Bajo.
Perjuangan Sibbly salam 13 tahun terakhir. Tidak hanya membantu dunia pendidikan masyarakat Bajo Sampela. Sekolah yang ia pimpin itu, telah mendapat perhatian pemerintah. “Belum negeri. Tetapi swastanya sudah hilang. Sudah menuju negeri,” tutup Sibbly.
Sosok seperti Sibbly ini adalah lentera pendidikan bagi daerahnya. Hari Guru Nasional dan HUT ke 72 PGRI yang penanggalannya jatuh tiap 25 November tak adanya bedanya bagi lelaki tangguh dari Kaledupa ini. Daripada hanya bicara seremoni, memberi kontribusi besar bagi dunia pendidikan jauh lebih berharga.
Sampai saat ini, MTS Hubbul Watha memang belumlah seperti sebuah bangunan ideal. Ia masih berdiri diatas tiang beton di kawasan laut Wakatobi. Dindingnya dibangun dari papan yang tak sepenuhnya menutupi rangka bangunan sekolah dari papan. “Sudah mulai rusak, tapi tetap kami syukuri karena masih bisa menularkan ilmu,” katanya.(gayus)