Selain kearifan lokal, budaya, sejarah dan kemolekan alamnya, Tangkeno juga punya sejumlah situs yang meneguhkan jika negeri ini pernah menjadi pusat peradaban di Kabaena. Ada banyak situs purba yang ditemukan di kampung ini.
Di pinggiran kampung, ada lima benteng batu yang dipercaya pernah menjadi lokasi perlindungan penduduk dari serangan musuh. Ada Benteng Tuntuntari, Benteng Tawulagi, Benteng Tondowatu, Benteng Doule dan Benteng Ewolangka.
Situs-situs ini benteng-benteng batu di Tangkeno jadi salah satu daya tarik orang berkunjung. Meski medannya tak mulus, tiap lebaran, ratusan orang tak surut niat untuk menikmati pemandangan dari puncaknya, serta merewind ingatan dan bayangan, bagaimana benteng-benteng itu dulu dibangun dan apa kegunaannya.
Lima benteng batu yang mengelilingi kampung Tangkeno itu diyakini dibangun di tahun 1600-an silam. Keberadaannya dimaksudkan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh yang berasal dari luar Pulau Kabaena.
Benteng-benteng yang tersusun dari batu-batu gamping tanpa perekat itu luasnya relatif sama kurang lebih 1000 meter persegi. Tak terlalu luas memang, karena penduduk saat itu memang masih sedikit. Tinggi benteng rata-rata hanya sekitar 2 meter.
Yang paling terkenal dan kerap jadi tujuan kunjungan adalah benteng Tuntuntari dan Tawulagi yang memang tak jauh dari kampung. Dari atas benteng Tuntuntari, di belakangnya adalah lereng Gunung Sabampolulu, kemudian perairan Kabaena Timur terlihat jelas, lalu perairan Sikeli.
“Disitu dulu adalah tempat memonitor kalau ada kapal-kapal asing yang masuk Kabaena. Benteng itu dijaga oleh pria perkasa yang disebut Tamalaki,” kisah Abd Majid Ege, Kades Tangkeno.
Disebut sebagai benteng Tuntuntari karena ketinggiannnya sejajar dengan pucuk-pucuk bambu yang tumbuh diluar benteng. Dalam bahasa lokal, “tuntu” itu sama dengan ujung atau di ketinggian, sedangkan “Tari” itu berarti bambu.
Hanya saja sekarang ini, tumbuhan yang kerap dipakai warga lokal untuk dijadikan pagar itu sudah mulai berkurang karena sering diambil untuk kebutuhan penduduk setempat.
Jika benteng Tuntuntari letaknya di belakang kampong, sebaliknya benteng Tawulagi berada di “gerbang” kampong. Benteng itu dibangun tak jauh dari jalur masuk Tangkeno.
Untuk mengaksesnya, dari jalan utama, yang juga belum diaspal, Anda harus berjalan kaki sekitar 1 kilometer, melintasi jalur setapak yang terjal dan mendaki. Tak ada kendaraan yang bisa melintasi jalur itu karena medannya sulit.
Berbeda dengan Tuntuntari, benteng Tawulagi relatif kaya situs. Ada sebuah meriam yang moncongnya mengarah ke laut. Ada kuburan berundak di dalam kawasan itu yang diyakini sebagai kuburan tokoh bernama Tawulagi.
Sebelum sampai ke pintu masuk benteng itu, juga ada makam-makam tua orang-orang purba. Ada yang pernah masuk benteng itu usai magrib. Mereka menemukan lempengan batu yang bersinar terang, yang mirip huruf Allah. “Saat dibawa pulang ke kampung, memang masih terlihat sinar itu, tapi saat siang, sudah hilang,” kata Majid Ege lagi.
Nama benteng Tawulagi diambil dari nama tokoh yang menjadi Tamalaki di benteng itu. Dalam bahasa setempat, Ta itu berarti ayahnya seseorang, sedangkan Wulagi adalah nama seseorang. Jadi Tawulagi itu adalah ayahnya Wulagi.
Orang Kabaena dulu, sangat tabu menyebut nama orang tuanya, bahkan mungkin mereka tidak tahu. Makanya, karena orang-orang hanya mengenal Wulagi, maka benteng itu disebut Tawulagi.
Menurut cerita Majid Ege, di benteng Tawulagi itu dulu pernah diserang oleh prajurit Tobelo dari Maluku yang kalah perang dari prajurit Kerajaan Bacan. Saat itu, masyarakat Kabaena memang selalu berkumpul di benteng jika ada kemungkinan serangan dari luar.
Begitu ada kabar tentang masuknya pasukan asing ke Kabaena, warga dari berbagai kampung di Kabaena kemudian mengungsi dan berlindung di benteng Tawulagi.
“Kan dari benteng itu terlihat kapal yang masuk. Dari dulu, bajak laut Tobelo itu ketahuan model kapanya. Makanya begitu ada kabar soal masuknya Tobelo, warga pun berkumpul,” tutur tokoh adat Kabaena ini.
Namun, para pasukan Tobelo itu ternyata lihai memanfaatkan keramahan masyarakat Kabaena. Dengan berpura-pura menyerah dan mengaku minta perlindungan, para prajurit Tobelo itu diizinkan masuk benteng.
Sialnya, lanjut Majid Ege, setelah diberi makan dan kenyang, para prajurit itu justru menyerang hingga akhirnya banyak korban. Bahkan diriwayatkan, para prajurit Tobelo itu membawa anak gadis Kabaena ke daerah mereka, sebagai salah satu rampasan perang. Tentu saja dengan berbagai kekayaan alam Kabaena, ikut dijarah.
Benteng-benteng itu menurut Atikurrahman, mantan Bupati Bombana, lebih tua dari kedatangan Belanda di Indonesia. Itu bisa jadi benar karena saat lima kapal dagang VOC yang berlayar menuju Maluku, kandas di perairan Sagori tahun 1907.
Saat kapal-kapal itu karam, Kabaena masih berada di bawah kekuasan pemerintahan Buton. Persahabatan VOC dengan Kesultanan Buton kala itu, sehingga para penumpang dan awak kapal yang karam itu tak dibunuh. “Mereka justru diselamatkan,” tukas Majid Ege.
Padahal dulunya, para penduduk Kabaena sudah mendengar adanya invansi orang asing ke Nusantara, termasuk kemungkinan masuk ke Kabaena. Orang Kabaena menyebut sebagai “Mata Pila” atau orang kulit putih.
Dalam pemahaman orang Kabaena, invansi Mata Pila itu berbahaya karena bisa mengubah kepercayaan warga soal Tuhan, dengan membawa agama baru. Makanya, saat ada kapal Belanda karam, ada kesepakatan untuk dibunuh tapi karena permintaan kesultanan Buton sehingga urung dilakukan.
Meriam di benteng Tawulagi itu diambil dari kapal yang karam itu. Tapi sampai sekarang, menurut ceritanya itu tak pernah digunakan hanya dipakai untuk berjaga-jaga. Hingga kemudian Belanda pergi dari Indonesia, pasukan asal klub sepakbola Ajax Amsterdam itu tak pernah menginvasi Kabaena.
Justru Jepang yang saat berkuasa, sempat masuk Kabaena bahkan menjalankan praktek kerja paksa Romusha. Para Nippon itu mengerahkan warga untuk mencari emas di Kabaena, yang salah satunya di Tangkeno.
“Pasukan Jepang malah sempat memakai benteng-benteng kami itu sebagai tempat pengintaian mereka terhadap pesawat musuh,” urai pria yang sudah lebih dari 8 tahun jadi Kades itu.
Tapi Jepang, seperti juga usianya di Indonesia yang tak lama, pendudukan mereka di Kabaena juga tak lama. Tahun 1944, Jepang sudah meninggalkan Kabaena.
Bercerita soal Tangkeno memang sulit jika hanya diurai dengan tulisan. Ada banyak sudut pandang yang sulit diejawantahkan, kecuali jika anda menikmatinya sendiri dan berdiri langsung di Kampung Tangkeno. Seperti halnya seorang gadis cantik, tidak cukup hanya dengan diceritakan, seperti itulah Tangkeno.
Bila ingin menikmati semilir angin yang damainya lebih luar biasa dari AC keluaran terbaru dari brand terkenal sekalipun, berkunjunglah ke Tangkeno saat ini. Tapi tentu saja, sebelum ke Tangkeno, mampirlah ke Tirongkotua, dan kagumi “angkuhnya” gunung Batu Sangia.(Abdi Mahatma)