LENTERASULTRA.com-Senja. Matahari sebentar lagi menuntaskan tugasnya, saat seorang perempuan tiba di bibir bukit Desa Liya Togo, Kecamatan Wangi-wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, (Sultra), Senin (2/10/2017) lalu.
Ia adalah Wa Ode Nurhayati, atau karib dipanggil WON oleh orang-orang yang mengenalnya. Selalu ada haru tiap ia menjejak kaki di tempat ini. Di bukit inilah, ia diajari penderitaan, perjuangan, kejujuran, integritas, dan kesetiaan seorang perempuan Wakatobi.
Bagaimanapun bebatuan di bukit tandus inilah yang meninggalkan napak tilas ditiap lutut anak-anak yang tinggal di dusun ini. Ini bukan kali pertama WON pulang kembali ketempat ini. Sejak setahun terakhir, mulai dari sebagai pengusaha sampai sebagai politisi baru.
Tak henti WON takjub. Data base tentang masa kecilnya muncul berkelindan di kepalanya. Semua tentang kerasnya kehidupan. Boleh jadi, inilah sejatinya alasan almarhum ke dua orang tuanya hijrah ke Papua, adalah karena kerasnya hidup ditanah tanpa aspal masa lampau ini.
Sekarang hampir di semua jalan lama, bahkan jalan baru bahkan masih bisa kuhirup bau hangat aspalnya. Dimasa lalu, jangankan mobil, sepeda pun sulit menapaki jalan-jalan di kampung ini, katanya.
Sengaja WON turun dari mobil yang menjemputnya yang dikemudikan oleh saudara sekaligus sahabat masa kecil yang dipanggil dengan sebutan Ruslan. WON minta mereka meninggalkannya dari kampung yang bernama Sempo, disimpang kiri menuju Liya Togo.
Sedang kanan laut dan pulau di tengahnya, menggoda WON. Diteluk ini berderet perahu-perahu nelayan, dilautnya terhampar kebun agar-agar, milik masyarakat sekitar yang jadi mata pencaharian.
Senja ini begitu tenang, setenang lukisan pulau Simpora, yang seakan enggan melepas pergi kapal-kapal nelayan, ombak tak pernah cemburu pada mereka, seperti juga air laut yang begitu bening hingga tampak anekarupa pemandangan dibawah lautnya.
“Liya Togo tak akan pernah selesai ku catat dalam hatiku, sebab ia adalah perawan yang selalu menutup cadarnya tiap kali lelaki menghampirinya, tak henti-hentinya ia membuat jatuh cinta, lahir disini aku seperti hawa yang diciptakan di surga dalam makna, atau mungkin Neverland si Peter Pan dalam imajinasi James Barrie,” ungkap Wa Ode Nurhayati.
Bagaimana tidak, fakta yang keras dan berat tentangnya, senantiasa menjadikannya rindu dihati, meski nun jauh di tanah Papua.
“Teringat kalimat-kalimat rindu kampung dari almarhum orang tua, yang ingin habiskan masa tuanya di kampung ini, tapi aku tahu apa rindu itu, ia adalah persaudaraan dan solidaritas, yang dikenal dengan bahasa kampung Pokonta-konta dan Pohamba-hamba, boleh disingkat sakitmu sakitku jua, bahagiamu doaku jua,” katanya.
Memang pernah banyak perdebatan tentang tempat ini. Keindahan alam yang begitu kontras dengan kehidupan masyarakatnya yang tak lepas dari kungkungan kemiskinan.
Panorama ini bagaikan gambar-gambar mati ketika WON harus naik turun bukit demi bisa mencuci pakaian kotor, usianya 6 tahun ketika tangan kecilnya sudah melakukan aktifitas kiloan jalan kaki dengan ember cucian dikepala dan jirgen 5 liter air minum ditangan.
Atau perjalanan 30 menit ke sekolah yang seakan hukuman bagi mereka yang hidup terpencil diujung pulau Wakatobi, pulau beralas bebatuan yang membuat sepatu cepat rusak, ungkapnya teringat masa kecilnya.
Dirinya masih terlena oleh suara azan yang begitu khas di kampung ini. Suaranya mendayu-dayu seperti ingatannya yang berputar kemasa lalu, tak terasa bulir bening hiasi kelopak matanya.
“Ingin rasanya berlari, ketika samar-samar kudengar suara Ibu berteriak “Justhondo dimana kamu?, lekaslah pulang, hari sudah gelap” lamunanku usai ketika air mata ini tak terbendung lagi, wangi Ibu, dan semua tentangnya seakan hidup kembali,” curhat WON .
WON memang selalu tak kuasa menahan godaan untuk ke Liya Togo, godaan itu selalu datang dari nenek tercinta wa Ode Yai, kakek tersayang kakek Idha qiqi dan Idha ganiru.
“Lewat telepon Om Nurdin mereka selalu merangkai alasan, ‘Pulanglah dulu banyak yang mau kita ceritakan’.
“Saya selalu memaksa diri untuk pulang bila semua orang tuaku dikampung itu memanggilku. Meskipun salah satu staf mengingatkan tentang agenda yang sudah dijadwalkan mengisi seminar di daerah Jambi tentang perempuan dan politik,”.
Sejak terpilih menjadi anggota DPR perempuan termuda dan perempuan pertama dari Sulawesi tenggara, dilantik diusia 29 tahun, serta merta WON menjadi sesuatu bagi keluarga besar khususnya di Wakatobi dan Sulawesia Tenggara pada umumnya.
“Mereka menyambutku seperti menyambut anak sendiri. Begitu gemuruh, begitu haru. Awalnya aku merasa risih , tapi kesadaranku bahwa ini sesungguhnya bukan tentang diriku, tapi tentang mereka. Ini adalah tentang mereka, tentang harapan bertahun-tahun mereka pupuk dalam hidup tanpa listrik, tanpa air bersih, jalan tanpa aspal, dan gemuruh ombak yang bisa mencapai 7 meter tingginya,” papar politikus muda ini.
Januari, mendekati Pemilu 2009, Wa Ode Nurhayati membuat kehebohan di jagad politik Sultra. Tak cukup familiar di Bumi Anoa, ia malah mencoba peruntungannya di Pilcaleg. Usianya masih 29 tahun.
Di Partai Amanat Nasional (PAN), namanya masuk di nomor urut nomor 6. Takdir ternyata menulis riwayat perempuan muda itu. Wanita muda itu, dengan suara 27 ribuan, melenggang ke Senayan, usai Pemilu digelar, April 2009. Padahal, nyaris tak ada yang “menghitungnya”, bahkan oleh partainya sendiri.
Setelah terjerat masalah hukum, dan menjalani masa tahanan karena kasus korupsi yang menderanya selama hampir 6 tahun, ia kembali lagi ke Sultra. Kali ini, datang dengan tantangan yang tak kalah beratnya. Menjajal kursi Gubernur Sultra periode 2018-2023, yang Februari tahun depan ditinggalkan Nur Alam-Saleh Lasata.
Ia sudah secara resmi menyampaikan ke publik untuk maju di Pilgub Sultra, lewat jalur perseorangan. Ia mengajak seorang anak muda bernama Andre Darmawan, sebagai pasangannya. Berstatus sebagai mantan narapidana, sama sekali tidak memengaruhi semangatnya, apalagi takut masalah itu jadi senjata bagi lawannya.
“Saat dulu saya maju sebagai anggota DPR RI, saya sudah berniat mewakafkan diri saya untuk mengabdi bagi daerah ini. Bagi bangsa ini. Semangat itu tetap saya rawat, dan tidak boleh mati hanya karena saya dipenjara 5 tahun terakhir ini,” tegas perempuan yang lahir tahun 1981 ini.(abi)
Tulisan ini dikutip sebagian dari post akun FB #Syah_Wan. Direkomendasikan WON