“Menghapus Jejakmu”

Rasanya ingin seperti pemuda di gua Kahfi, pulas sekian lama dan terbangun dengan suasana yang sudah berbeda.

Demikianlah saya. September terasa begitu lamban bergerak, menanti tema PKI beranjak. Syukurlah linimasa Oktober menyapa, walau cadangan energi rasanya sudah terkuras habis gegara isu partai komunis.

PKI disundul di mana-mana, semua merasa berhak bicara, dari saksi hidup hingga generasi milenial yang mendadak jadi ahli sejarah.

Satu dua orang di antaranya ada pula yang menjadikan tragedi bangsa sebagai olok-olokan, demikian halnya anak-anak muda garis merah yang merasa paling korban, padahal di jaman itu sekadar berwujud embrio pun mereka belum dipikirkan.

Ini fenomena apa? Sebegitu seksinya kah PKI ini hingga jadi debatable lintas generasi?
Aparat berseragam hijau bilang PKI mau bangkit, aparat seragam cokelat bilang PKI sudah mati, entah adakah di tempat lain dengan komunikasi dan tata kelola negara serancu ini.

Padahal cukuplah kita dibingungkan dengan simpang siur impor senjata.

Andai semua pihak mau membuka nurani, keterlibatan PKI dalam G 30/S, kekejaman di berbagai daerah sebenarnya bukanlah bagian sejarah yang perlu diluruskan, melainkan fakta sejarah yang tak layak dinafikan.

Apapun itu nonton bareng film pemberontakan 30 September sudah kelar digelar. Meski ada suara sumbang, toh presiden duduk menonton di Makorem Bogor mengambil saf paling depan.

Kata orang sini: Mo koapa?

Presiden bahkan tegas berkata “Jangan sampai kekejaman PKI terulang lagi. Jangan berikan ruang kepada ideologi-ideologi yang bertentangan dengan Pancasila”

Sebagai warga negara yang bijak, pada momen ini cukuplah kita “Ati’ullah wa ati’urrasul wa ulil amri minkum”. Apa yang terjadi besok, wallahu’alam.

PKI faktanya memang sudah tak ada di bumi pertiwi. Tapi ideologi, keyakinan, dan kecenderungan, bukan hal enteng untuk dimusnahkan.

Sekadar kewaspadaan kan tak ada salahnya, mengingat praktik homo yang punah di jaman Nabi Luth saja bisa bangkit kembali menjadi predator mengerikan yang mengancam generasi dibawah bendera LGBT, apalagi sekadar PKI.

Tapi hendaknya jangan pula paranoid berlebihan. Kalaulah saja semua kecenderungan kiri harus diberangus, maka motor bebek yang dikunci stang pun otomatis jadi korban, karena semuanya cenderung ke kiri.

Rekonsiliasi? rekonsiliasi macam mana?

Yang dibutuhkan sebenarnya cuma move on. Sesederhana itu. Keluarga korban PKI dan korban fitnah Orde Baru, masing-masing berbesar hatilah menghapus jejak perih kakekmu.

Karena luka akan terus bernanah jika tiap tahun dikorek dan diberi cuka. Setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya.

Orang-orang yang sudah tenang di masanya, jangan lagi dibangkitkan dan diseret dalam kubangan ego siklus tahunan.

Kanan atau kiri, semua soal sudut pandang. Sekadar disadari bahwa kita kaum pria pada dasarnya juga dominan ke kiri.

Men to the LEFT. Because woman are always RIGHT.(***)

ArhamPCC