Kisah Al Mujazi Mulku, Sang Penjaga Naskah Kuno Kesultanan Buton

FOTO : SYAIFUDDIN GANI/WORDPRESS
Al Mujazi Mulku (kanan) memperlihatkan dokumen-dokumen naskah kesultanan Buton kepada seorang peneliti dan penulis di rumahnya di Keraton

LENTERASULTRA.com-Al Muzjazi Mulku Zahari ingat betul pesan ayahandanya ketika memasrahkan naskah Buton. Petuah itu dia jaga betul. Hingga akhirnya dia menerima Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dalam Kategori Maestro Seni Tradisi Kamis lalu (28/9).

Niat awal Muzjazi menyimpan naskah kuno kesultanan Buton hanyalah untuk berbakti kepada ayahnya, Abdul Mulku Zahari. ”Naskah ini bukan warisan, tapi amanah,” katanya saat ditemui di gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kamis lalu.

Dari sepuluh saudaranya, Muzjazi-lah yang dipercayai ayahnya untuk menjaga naskah kuno Buton itu. Keluarga Muzjazi merupakan keturunan sekretaris Kesultanan Buton. Dengan demikian, naskah yang dimiliki Muzjazi sudah turun-temurun. ”Ayah saya juga buat beberapa buku. Dia sekretaris terakhir,” jelasnya.

Naskah yang dijaga Muzjazi berbahasa Wolio dengan tulisan arab gundul. Cara bacanya pun mirip dengan cara baca Alquran, dari kanan ke kiri. Menurut Muzjazi, naskah Buton itu berisi petuah hidup.

Bagaimana seorang manusia harus berperilaku baik untuk mempersiapkan kehidupan di akhirat. Ada juga mengenai kisah sejarah Kesultanan Buton. ”Naskah ini ada yang di Belanda,” tuturnya.
Yang berada di Belanda tentu yang salinannya. Sedangkan yang asli tetap di tangan Muzjazi.

Petuah-petuah hidup dan sejarah yang tertuang dalam naskah Buton menarik minat banyak peneliti yang ingin mendalaminya. Karena itu, Muzjazi pun sering didatangi peneliti.

Sesuai dengan amanah ayahnya, dia akan melayani dengan sepenuh hati. ”Rumah saya terbuka 24 jam untuk didatangi peneliti,” ucap pria kelahiran 27 Maret 1956 tersebut.

Dia juga bercerita, tak sedikit orang yang ingin membeli naskah tersebut. Namun, berapa pun harganya, dia tak akan melepas. Alasannya, ketika naskah tersebut dilepas dan ada yang akan meneliti, maka akan kesusahan.

Lagi pula, naskah tersebut merupakan sumber sejarah Buton. ”Saya pernah ditawari orang dengan harga berapa pun yang saya mau. Tapi, saya tidak berikan,” ujar suami Sumriyah itu.

Selain menjaga naskah peninggalan leluhurnya, Muzjazi sehari-hari menjadi pemandu di Museum Kesultanan Buton. Posisinya sekarang didapatnya dari sang ayah juga.

”Saya sering minder karena saya sering menjawab pertanyaan profesor. Padahal, saya lulusan SD,” ucap ayah empat anak tersebut.

Buton yang pernah jaya sebagai kerajaan dan kesultanan, memang memiliki khazanah naskah yang berharga, merekam berbagai pemikiran keagamaan, sufisme, undang-undang, sastra, dan sejarah yang sangat bernilai.

Kerajaan yang diperkirakan berdiri pada awal abad XIV dan berakhir pada tahun 1960 tersebut, mewariskan ratusan naskah dalam ribuan halaman kepada generasinya. Di masa kini, yakni masa dari ratusan tahun silam ketika tradisi tulis dimulai, naskah tersebut masih dapat diakses dan dibaca oleh berbagai kalangan.

Al Mujazi Mulku Zahari yang kini tinggal di Kelurahan Badia, Kecamatan Wolio, Kota Baubau. Ayahnya, Abdul Mulku Zahari pernah menjabat sebagai pembantu utama (semacam asisten pribadi) Sultan Falihi (1937-1960) yang memberinya kesempatan luas untuk menghimpun naskah di Kesultanan Buton.

Al Mujazi juga pernah menerima penghargaan dari Universitas Laiden, Belanda, sebuah perguruan tinggi yang terkenal dan konsen mengoleksi dan memelihara ribuan naskah dari seluruh dunia.

Dua di antara banyak naskah yang paling banyak dibicarakan adalah Kabanti Bula Malino karya Sultan Muhammad Idrus dan Ajonga Inda Malusya karya Haji Abdul Ganiyu.

Ratusan naskah lainnya kini masih berada di rak dan sebuah peti tua seperti naskah tentang bahasa, hikayat, hukum, Islam, sejarah, silsilah, surat-surat, syair, dan kitab martabat tujuh.(jpc/ wordpress.com)

BaubauButon