Lautku Rumahku, Film Lokal dengan Sentuhan Natural

FOTO : ISTIMEWA
Produser Film Lautku Rumahku, Ahmad Nizar memberikan keterangan pers tentang film Lautku Rumahku. Film yang sudah diputar di bioskop-bioskop di Kota Kendari ini mengangkat keindahan bahari Wakatobi.

LENTERASULTRA.com- Sulawesi Tenggara memiliki banyak destinasi wisata menarik. Tak hanya di alam pegunungan, lautnya juga memiliki panorama yang aduhai. Potensi itu ternyata mulai dilirik menjadi spot-spot dalam pembuatan film.

Tercatat sudah tiga film layar lebar yang mengambil salah satu lokasi syuting di Bumi Anoa. The Mirror Never Lies (Cermin tak pernah bohong), Barakati dan Mengejar Embun ke Eropa.

Melihat potensi itu sineas lokal Ahmad Nizar tak mau ketinggalan. Mengangkat keindahan bahari Wakatobi, Ino (sapaan akrab Ahmad Nizar) memproduksi film lokal Sulawesi Tenggara bertajuk Lautku Rumahku.

Film berdurasi 1 jam 26 menit itu 100 persen mengambil lokasi di Sultra. 80 persen di Wakatobi, 20 persen di Kendari.

“Semua pemainnya juga anak-anak Sultra yang memiliki kemampuan dalam dunia akting. Sebenarnya, lokasi shooting menggunakan dua tempat yaitu Kendari dan Wakatobi. Hanya saja 80 persen lebih menonjolkan Wakatobi. Utamanya, cerita wisata ditambah budaya pulau bajo serta diberi sentuhan cerita soal pendidikan di pulau itu,” terang Ahmad Nizar.

Film Lautku Rumahku itu kata Ino, diproduksi oleh Rumah Teramedia Kendari. Ceritanya dikesankan dalam alur dengan berbagai setting, ada yang  menegangkan, romantika, komedi, konflik  kepentingan sosial, serta cerita tentang  kenavigasian.

Targetnya bisa dinikmati seluruh kalangan, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa.

Pemeran utama dalam film itu diperankan oleh Aditya Dwilaksono yang berperan sebagai Onang. Dia adalah salah satu putra berprestasi yang pernah menyabet predikat sebagai putra Bahteramas dan putra pariwisata Sultra 2017.

“Semua pemainnya pendatang baru di dunia layar lebar, sehingga ini menjadi film pertama yang mereka bintangi. Lima orang pemain dari Kendari dan 5 orang dari kampung Bajo Mola Wakatobi. Ada juga pemeran pendukung yakni pegawai kantor navigasi Wakatobi dan Kendari,” terangnya.

Awalnya, Ino tidak menyangka film yang disutradarainya itu bisa tayang di bioskop sebagai film layar lebar. Sebab niatnya hanya membuat film pendek yang hanya berdurasi 40 menit saja. Akan tetapi, ia mendapat support dari pemerintah Wakatobi dan Kendari sehingga ia berhasil memproduksi film itu menjadi film layar lebar yang berdurasi lebih dari satu jam.

“Proses pembuatan keseluruhannya juga singkat hanya kurang lebih sebulan. Alhamdulillah sukses dan telah tayang di Hollywood Kendari sejak 15 sampai 18 September. Penontonnya juga melebihi target. Kami hanya targetkan 1.000 penonton, ternyata tiket yang terjual 1.270 laku. Selanjutnya kami akan lakukan pemutaran film di Wakatobi,” tambah Ino.

Dia berharap, lewat film tersebut bisa menjadi momentum bangkitnya karya film lokal yang dilahirkan oleh sineas-sineas Sultra. Apalagi, cerita yang diangkat bermuatan lokal khususnya dengan sentuhan alam yang masih natural.

Masih banyak potensi wisata lain yang ada di Sultra yang perlu diekspos dalam sebuah karya perfileman. Olehnya itu, dia juga sudah merencanakan pembuatan film selanjutnya dengan lokasi berbeda, tentunya masih dengan cerita soal potensi yang ada di Bumi Anoa ini. (Isma)

Editor : Yanti Aprilianti

filmWakatobi