“Sudah pernah ada dua gubernur Sultra merasakan sejuknya mandi di mata air ini”
LENTERASULTA.com-Tangkeno, tak hanya soal negeri di atas awan. Eksotisme desa di kaki gunung Sabampolulu, Kecamatan Kabaena Tengah ini bukan sekadar menawarkan panorama memukau dari ketinggian. Di tengah hutan, ada sebuah ranu, dengan hikayat berbalut mistis.
Orang lokal menyebutnya, Ee Wulaa atau bila disederhanakan secara harfiah berarti Air Emas. Jadi arti frasa ini ialah air yang mengandung emas.
Ia adalah sebuah sumber mata air yang menyembur ke permukaan tanah di sebuah lereng pegunungan. Semburan air ini kemudian tertampung pada sebuah cerukan sebagai kolam alam yang tidak begitu besar. Nah, ranu atau kolam inilah yang disebut Ee Wulaa, Golden Water.
Mengapa orang Kabaena, khususnya warga Desa Tangkeno menyebutnya Ee Wulaa? Konon, berdasar legenda, dahulu kala ada seorang warga pergi ke hutan. Saat melewati sumber air tersebut ia melihat bongkahan batu kekuningan seperti emas muncul di atas permukaan ranu itu. Padahal, biasanya permukaan air kolam itu bersih dari dedaunan maupun ranting-ranting kayu.
Warga itu kemudian bergegas balik ke kampung dan menceritakan benda aneh yang baru dilihatnya di kolam. Dalam keterangannya ia juga secara dramatis melukiskan bongkahan batu berwarna emas itu tampak bergerak laksana seekor belibis sedang berenang.
Akan tetapi, ketika bongkahan hendak dilihat dan dicermati ulang oleh dia bersama beberapa teman sekampung, benda aneh itu sudah tak ada. Lenyap tanpa bekas. Air kolam dan suasana sekitar tetap tenang dalam kesenyapan. Sementara desau angin tetap bernyanyi memecahkan kesenyapan itu. Hukum keseimbangan alamlah yang berlaku.
Orang Tangkeno dulu jujur dan kuat memegang tradisi. Keterangan penemu bongkahan batu menyerupai emas harus dipercaya tanpa butuh verifikasi. Soal bongkahan tak ada lagi adalah masalah lain. Perkara ini kemudian dialihkan ke mitos.
Dikatakan, bongkahan itu adalah penampakan bahwa di tempat itu memang terdapat mineral berupa bijih emas. Sejak saat itu sumber mata air pegunungan tersebut disebut dan dikenal sebagai Ee Wulaa atau Air Emas.
Tangkeno adalah sebuah kampung tua, pusat peradaban masyarakat Kabaena yang secara etnologis merupakan suku Moronene dari daratan besar (wita ea) jazirah Sulawesi Tenggara. Kampung ini (kini desa wisata) terletak di kaki lereng Gunung Sangia Wita, atau di ketinggian 620 meter dpl (dari permukaan laut).
Untuk mencapai lokasi Air Emas, harus naik ke atas lagi hingga di ketinggian sekitar 650 meter dpl. Dari sebuah jalan sederhana yang menjadi akses Desa Tangkeno dengan Benteng Tontontari, kita harus menuruni tebing agak landai sekitar 300 meter.
Kisah itu bahkan sampai ke telinga Nur Alam, gubernur Sultra non aktif. Selasa 13 Juni 2017 lalu, saat Ramadan, ia ke Tangkeno. Ia ditemani Hj Sitti Saleha yang kala itu masih menjabat sebagai Pj Bupati Bombana. Nur Alam mengajak Yamin Indas, tokoh masyarakat Kabaena di Kendari yang juga putra Tangkeno.
Dari Kasipute, rombongan kecil ini menggunakan speed boat membelah laut Dia menyiapkan speed boat yang membelah laut menuju pelabuhan Sikeli, Kabaena. Butuh waktu tempuh dua jam untuk sampai ke Kabaena.
Rombongan tidak segera “nancap” ke gunung (Tangkeno). Gubernur Nur Alam tertarik terhadap rangka tulang ikan paus sepanjang 12 meter yang terpajang di dekat pelabuhan. Rangka itu diletakkan di sebuah bangsal sederhana. Pajangan ini kemudian menjadi obyek tontonan para pengunjung Kabaena.
Sikeli telah dibuka sebagai pelabuhan sejak zaman Belanda. Daerah hunian (perkampungan) makin luas. Tetapi wajahnya tetap kusam. Mungkin karena belum memiliki infrastruktur jalan yang baik. Jaringan jalan yang berupa jalan tanah, berlumpur bila hujan.
Jalan poros yang membelah Sikeli berlubang-lubang, tampak seperti bekas aspalan yang telah keropos. Kondisi jalan seperti ini sama keadaannya hingga ke Teomokole, sejauh kurang lebih 5 kilometer.
Kondisi jalan jelek lebih parah lagi saat hendak menapak naik ke gunung menuju Tangkeno. Ruas jalan Tangkeno – Sikeli sebenarnya hanya kurang lebih 18 kilometer. Namun, rombongan kami menempuhnya sekitar satu jam dengan mobil-mobil kijang Innova.
Desa ketinggian pertama setelah lepas Teomokole adalah Rahadopi. Aksesnya berupa jalan tanah yang di sana sini telah dikeraskan dengan kerikil (sirtu: pasir batu) namun telah tergerus run off.
Keadaan jalan hingga Tangkeno lebih memprihatinkan. Suasana juga terasa agak sempit karena rumput dan pepohonan liar di kiri kanan jalan, jarang dipangkas. Pendek kata, akses ke desa wisata ini belum baik. Badan jalan yang ada tak terpelihara.
Kondisi infrastruktur jalan di Kabaena sangat kontras dengan kondisi ruas jalan Kendari – Kasipute (180 Km). Ruas tersebut merupakan jalan nasional beraspal campuran panas (hotmix).
Nyaris senada dengan kondisi jalan jelek, lahan pertanian di sepanjang jalan ruas Teomokole – Tangkeno belum terolah maksimal. Masih lebih luas hutan belukar muda dari kebun-kebun jambu mete dan cengkeh. Pemandangan seperti itu lebih tegas setelah kita memasuki wilayah Desa Tangkeno.
Kunjungan pribadi Gubernur kala itu rupanya bocor juga. Warga telah terkonsentrasi di balai desa saat kami tiba di sana. Ada sejumlah camat dan staf, anggota TNI dan Polri. Gubernur hanya senyum-senyum saja. Ia berbaju kaos warna cerah berkerah.
Rombongan terus bergerak langsung menuju lokasi Golden Water. Naik ke atas lagi. Obyek ini ternyata sederhana dan alami. Kolamnya kecil saja sehingga tidak mungkin kita mandi dengan mencebur ke dalamnya.
Kolam itu berlokasi di ujung akar-akar sebuah pohon beringin yang tidak terlalu angker. Untuk tempat mandi, warga membuat pancuran yang tersambung langsung dengan semburan air dari dalam tanah tebing.
Air pancuran dijatuhkan ke sebuah bilik kecil. Di sinilah Gubernur Nur Alam mandi, menikmati sejuknya air pegunungan Tangkeno. Bagi mereka yang pertama kali menjejakan kaki di Tangkeno, pasti merasakan sensansi dingin yang luar biasa.
Kepala Desa Tangkeno Abdul Madjid Ege (76), mengatakan, di zaman dia kecil kolam itu besar dan airnya melimpah jernih. Semburan-semburan air dari tanah tebing juga kencang mengucur kemudian tertampung di kolam alam itu.
Berkurangnya volume air yang membuat kolam juga makin menyempit disebabkan penebangan hutan di sekitar sumber air tersebut. Penebangan itu untuk keperluan ladang dan bahan bakar kebutuhan rumah tangga dan kerajinan membuat gula aren.
Madjid masih merasa optimistis, volume air Goldan Water bisa kembali seperti semula bila kawasan hutan di sekitarnya direhabilitasi. Pekerjaan itu tentu harus ditangani pemerintah. Warga setempat hampir tak mungkin melakukannya sebab hidup mereka sendiri susah, ditambah miskinnya kesadaran lingkungan.
Madjid menyatakan ingin sekali obyek permandian ini dikembalikan ke lingkungan alamnya yang asli. Dalam rangka itu kawasan hutan sekitarnya perlu ditanami kembali dengan pohonan berdaun rimbun, pohonan bambu, pandan, dan sebagainya.
Usaha pemulihan itu sangat diperukan. Pasalnya, Air Emas ini telah melegenda. “Hari ini sudah dua Gubernur Sultra yang mandi di sini,” ujar Madjid.
Sebelum Nur Alam, pendahulunya Drs H La Ode Kaimoeddin juga telah lebih dulu menikmati kesejukan air pegunungan tersebut. Tetapi saat itu mendiang Kaimoeddin belum menjadi gubernur. Dia masih menjabat Pembantu Gubernur Sultra Wilayah Kepulauan.
Menurut Sahrul, Direktur BUMDes Tangkeno, mata air emas itu kini sedang dibenahi agar bisa menjadi destinasi kunjungan baru mereka yang hanya mengenal Tangkeno sebagai negeri di atas awan.
“Mudah-mudahan, Festival Tangkeno 2017 nanti, mata air ini sudah bisa jadi rujukan wisata. Kami terus genjot pembangunan fasilitas penunjangnya,” kata lelaki yang se Pulau Kabaena mengenalnya dengan nama Gelo.
Setelah kurang kurang lebih dua jam di Tangkeno, Gubernur Nur Alam bersama rombongan kembali ke Kasipute, ibu kota Kabupaten Bombana, lalu ke Kendari.(dikutip sebagian dari tulisan Yamin Indas di desawisatatangkeno.com)
Editor : M Rioddha