Miris, Banyak Perusahaan Tambang di Indonesia Belum Transparan Soal Pajak

924

Pengumuman Kabupaten Bombana

JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Industri pertambangan di Indonesia kian menjadi sorotan. Kali ini, transparansi pajak yang menjadi problem. Berdasarkan data PricewaterhouseCoopers (PwC) Indonesia, hanya 30 persen dari 40 perusahaan pertambangan besar yang telah mengadopsi pelaporan transparansi pajak pada tahun 2020. Sementara sisanya, laporan pajaknya belum transparan. Hal itu terungkap dalam publikasi terbaru PwC bertajuk ‘Mine 2021 Great Expectation, Seizing Tomorrow’.

Menurut Sacha Winzenried, PwC Indonesia Mining Advisor, transparansi pajak merupakan salah satu metrik utama peringkat Environmental, Social and Good Governance (ESG), karena memberi kesempatan kepada perusahaan pertambangan untuk menyoroti kontribusi keuangannya yang signifikan kepada masyarakat.

“Meskipun transparansi pajak adalah cara mendasar bagi perusahaan untuk menunjukkan komitmennya terhadap isu-isu ESG, hanya 30 persen dari 40 Perusahaan Besar yang mengadopsi pelaporan transparansi pajak pada tahun 2020,” jelas dia dalam keterangan resmi, dikutip dari asiatoday.id.

Karena itu, Sacha mendorong perusahaan pertambangan untuk melakukan transparansi pajak sebagai bagian esensial dari strategi ESG-nya.

“Jika hal ini dilakukan, ini akan mendukung sektor pertambangan untuk lebih transparan mengenai pajak dan sewa yang dibayarkan dan manfaat sosial yang diberikan oleh kontribusi tersebut, khususnya di daerah terpencil tempat mereka beroperasi,” ujarnya.

Beberapa waktu sebelumnya, ekonom senior Universitas Indonesia Faisal Basri menyoroti sejumlah sektor yang membuat penerimaan pajak Negara melorot.

Salah satunya, konstribusi pendapatan pajak dari sektor pertambangan yang tidak optimal dari tahun ke tahun.

“Jebolnya penerimaan pajak di Indonesia sangat besar dari tambang dan smelter,” ujar Faisal dalam diskusi virtual bersama AJI Jakarta, awal Januari 2021.

Menurut Faisal, pada 2020 konstribusi sektor pertambangan terhadap penerimaan pajak hanya mencapai 4,3 persen atau 6,6 persen dari total produk domestik bruto (PDB). Penerimaan pajak dari sektor pertambangan lebih rendah disbanding sektor transportasi dan pergudangan yang sebesar 4,7 persen.

Sementara itu, koefisien pajak pun tercatat hanya senilai 0,66. Koefisien pajak diperoleh dari persentase penerimaan pajak yang dibagi dengan persentase sumbangan dalam PDB.

Faisal memandang, rendahnya penerimaan pajak dari sektor tambang terjadi karena kelonggaran-kelonggaran yang diberikan pemerintah. Dia mencontohkan adanya fasilitas seperti tax holiday hingga tax allowance untuk pertambangan tertentu seperti nikel yang dikelola oleh investor asing.

“Jika pajak nikel saja bisa dibereskan, Indonesia bisa menikmati pendapatan dari pajak sekitar Rp 50 triliun,” imbuhnya.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan pajak pada 2020 sebesar 1.070 triliun atau 89,3 persen dari target. Dengan demikian, sepanjang tahun lalu, terdapat kekurangan atau shortfall pajak senilai Rp 128,8 triliun.

Selain sektor tambang, Faisal juga menyoroti rendahnya penerimaan pajak dari bidang konstruksi. Sepanjang 2020, koefisien pajak hanya sebesar 0,48 atau 13,6 persen terhadap PDB. Dia menilai pendapatan pajak dari sektor konstruksi bisa ditingkatkan.

Karena itu, ia menyarankan pemerintah lebih serius meningkatkan penerimaan pajak dari sektor-sektor potensial, seperti industri manufaktur. Saat ini, industri manufaktur memiliki kontribusi 29 persen terhadap total penerimaan pajak dan 19,9 persen terhadap PDB.

“Pemerintah harus menciptakan transformasi ekonomi dan transformasi perpajakan. Ini kelemahan mendasar yang ada di bangsa ini yang gagal menaikkan pajak sehingga bergantung pada pajak rokok,” tandasnya. (AT Network)

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

BERITA TERBARU