Modal BPJS, Pasien RS Raha “Diusir” Usai Operasi

537
Wa Ode Baka dan suaminya, saat berada di depan ruang perawatan tempatnya sempat “diurus” setelah melahirkan. Ia hanya dibolehkan tiga hari dirawat

LENTERASULTRA.com-Datang dengan kemiskinan, pulang dengan getir. Begitulah nasib yang menemani Wa Ode Baka. Perempuan asal Desa Lahontoghe Kecamatan Tongkuno di Muna ini datang dari kampungnya ke RSUD Raha demi menyelamatkan bayi di kandungannya. Oleh dokter, ia dioperasi hingga anaknya selamat.

Kebahagiaannya pascamelahirkan anak keempatnya itu seketika sirna setelah ia mendapat perintah dari dokter yang menanganinya agar segera meninggalkan ruang Mawar 2 di RSUD Raha-bangunan lama-tempat ia dirawat selama tiga hari terakhir. “Padahal kasian masih sakit saya rasa bekas jahitanku,” kata Wa ode Baka ketika ditemui Jumat (2/3) siang lalu.

Kala itu, ia duduk masygul di depan ruang rawat Mawar 2 itu. Bersama suaminya, La Fini mereka baru saja mengumpulkan barang-barang bawaan yang menemani mereka selama beberapa hari terakhir di rumah sakit itu. “Katanya dokter, saya harus keluar karena di ruangan itu ada pasien baru yang mau masuk, tidak boleh empat orang di ruangan,” kata Wa Baka.

Modal Wa Baka ke rumah sakit plat merah itu adalah Kartu BPJS yang selama ini preminya ia bayar perbulan untuk kategori Kelas III. Tubuhnya masih sangat lemas. Mau tidak mau, suka tidak suka, ia terpaksa harus keluar dari ruang tersebut. “Dokter Tamsila bilang, tidak bisa dirawat sampai sembuh. Karena banyak pasien,” aku Wa Ode Baka diamini suaminya La Fini.

Pada pukul 10.00 Wita, pagi itu, wa Ode Baka mengaku, saat terbaring, kateter dan inpus masih terpasang di tubuhnya. Lantaran, ada pasien lain, ia terpaksa keluar. “Dokter Tamsila juga bilang, dia suruh kontrol saja, atau rawat jalan,” terangnya sesekali meringis karena kondisinya belum stabil.

Di depan kamar Mawar 2, perabotan seperti sarung dan lainnya juga dikeluarkan. Mereka hanya duduk tak berdaya menunnggu sanak keluarga datang menjemput. Sementara, bayi perempuan yang baru berumur tiga hari, terpaksa ditidurkan di kamar Mawar 4. Kebetulan, kamar itu, juga keluarga mereka sedang dirawat.

Related Posts

Direktur RS Modern Raha, dr Agus Susanto Daud Lindu membantah, kalau pihaknya melakukan tindakan medis diluar Standar Operasional Prosedur (SOP). Ia mengaku, pelayanan pasien tidak ada yang dibeda-bedakan. Sebab, dokter tidak melihat subyektif melainkan melihat pada obyek yang diberi pelayanan.

Jadi, menurut dr Agus, yang berhak memerintahkan pasien, keluar dengan tidaknya, itu adalah kewenangan dokter. “Kalau pasien sudah sehat, dokter sudah bisa mengatakan layak keluar. Karena, yang tau kondisi itu adalah dokter,” argumen Agus.

Dengan begitu, pasien tetap mendapatkan pelayanan rawat jalan. Entah itu, satu minggu dilakukan kontrol atau pertiga hari. Jika memang pasien tak mau datang di RS lantaran jarak antara RS dan tempat tinggalnya jauh, cukup dilakukan di Puskesmas terdekat saja. Artinya, perawatannya itu tak mesti ke dokter lagi. “Masih ada rawat jalan. Kalau soal infusnya dipaksa lepas, tidak mungkin lah. Perlakuan pasien tak dibeda bedakan. Ini soal pelayanan,” kata dokter yang juga mengambil kosentrasi Spesialis Anastesi ini.

Sementara itu, anggota Komisi III DPRD Muna, La Irwan mengaku kecewa sekaligus prihatin atas pelayanan RS. Menurutnya, jangan ada pembedaan diantara pasien. Mau BPJS atau tidak, perlakuan tetap sama. Bahkan, dugaannya, pelayanan masyarakat sudah muali berubah.

“Jangan samakan rumah sakit lama dan baru. Semua kebutuhan RS sudah kita akomodir. Masa diperlakukan begitu. Ada jangka waktunya. Kalau dia kenapa kenapa, siapa yang bertanggung jawab. Apalagi, ini operasi cesar. Kalau benangnya putus, bagaimana,” sindirnya.

Lanjutnya, RS tak menjalankan SOP. Soal manajemennya, secara institusi, direktur harus bertanggungjawab. Untuk itu, Bupati Muna harus melakukan evaluasi secapatnya. Pelayanan medis tak boleh disepelekan. Apalagi, visi dan misi Bupati salah satunya terkait pelayanan. Kalau keadaannya seperti ini, sudah berbanding terbalik.

“Terus terang saya kecewa. Bupati harus ada evaluasi minimal pertriwulan. Masa direktur tak bisa mengontrol bawahannya,” cetus legislatif dari Dapil 3 tersebut.

Keperluan rumah sakit, yang dimaksud politisi Hanura ini, dalam APBD, insentif dokter mulai dinaikkan menjadi Rp 30 juta perbulan dari Rp 10 juta. Makanya, sangat ironi kalau, pelayanannya tak maksimal. (ery)

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

BERITA TERBARU